Daily News | Jakarta – Banyak jabatan publik diberikan bukan karena kemampuan, tapi karena kedekatan. Akibatnya, kebijakan tidak berpihak pada rakyat, melainkan pada elite.
Anies Baswedan menegaskan bahwa bangsa Indonesia harus kembali pada nilai-nilai dasar dalam kehidupan bernegara. Menurutnya, tiga prinsip yang perlu dijadikan pegangan dalam pemerintahan adalah integritas, transparansi, dan meritokrasi.
Hal itu disampaikan Anies saat menjadi keynote speech dalam Dialog Kebangsaan Gerakan Rakyat Jawa Tengah di Semarang, Rabu, 8 Oktober 2025. Di hadapan ratusan peserta dari berbagai elemen masyarakat, Anies menilai bahwa akar masalah bangsa bukan hanya soal kebijakan, tetapi soal karakter dan nilai moral.
“Untuk menyelesaikan masalah bangsa, tidak cukup dengan pengetahuan teknis. Diperlukan integritas — nilai yang membuat apa yang dikerjakan dipercaya publik,” ujar Anies yang disiarkan langsung oleh kanal YouTube Gerakan Rakyat dikutip KBA News.
Ia mengingatkan, kepercayaan rakyat terhadap negara hanya bisa tumbuh bila pejabat publik berintegritas. Para pendiri bangsa menjadi panutan karena mereka berjuang bukan demi kekuasaan, melainkan demi kemaslahatan rakyat banyak.
“Kaum intelektual dulu jumlahnya sedikit, tapi diikuti jutaan rakyat karena mereka berintegritas. Mereka tidak mencari manfaat dari republik ini, tapi berjuang agar republik memberi manfaat bagi semua,” ujarnya.
Menurut Anies, integritas yang hilang menyebabkan ketidakpercayaan publik. Ia menilai, integritas bukan sekadar kejujuran, melainkan kesetiaan terhadap kebenaran dan kepentingan umum. “Preman bisa jujur dalam kejahatannya, tapi tidak berintegritas,” tambahnya.
Anies juga menyoroti pentingnya transparansi dalam setiap proses kebijakan publik. Ia mengkritik fenomena kebijakan pemerintah yang sering muncul tanpa penjelasan terbuka kepada masyarakat.
“Transparansi memastikan rakyat bisa ikut mengawasi, dan pemerintah bekerja dengan data. Tanpa transparansi, rakyat kehilangan haknya untuk tahu, sementara kebijakan rentan disusupi kepentingan,” tegasnya.
Lebih lanjut, Anies menggarisbawahi pentingnya meritokrasi, yaitu sistem yang menempatkan seseorang berdasarkan kompetensi dan prestasi, bukan karena koneksi.
“Banyak jabatan publik diberikan bukan karena kemampuan, tapi karena kedekatan. Akibatnya, kebijakan tidak berpihak pada rakyat, melainkan pada elite,” katanya.
Ia menilai sistem semacam itu membuat Indonesia sulit keluar dari jebakan middle income trap karena negara lebih sibuk mengelola kekuasaan daripada memecahkan masalah nyata.
“Negara tidak boleh berdagang dengan rakyatnya. Rakyat bukan konsumen jasa negara. Negara wajib menjamin hak dasar seluruh warga: kesehatan, pendidikan, dan perumahan,” ujar Anies.
Lebih jauh, ia mengingatkan bahwa kebijakan publik seharusnya lahir dari kebutuhan rakyat, bukan demi pencitraan politik. “Jangan seperti kisah Nasaruddin Hoja yang mencari kunci di tempat terang, padahal jatuh di tempat gelap. Banyak kebijakan dibuat karena ‘terang politik’ (pemilih elektroral), bukan karena menyelesaikan masalah,” sindirnya.
Anies dalam pidato ini dengan nada optimistis. Ia yakin bangsa Indonesia mampu memperbaiki diri jika nilai-nilai dasar dikembalikan ke tempatnya. “Optimisme harus dijaga. Setiap masa punya tantangan, tapi setiap tantangan bisa diselesaikan bila kita pegang nilai yang benar,” tuturnya.
Sebelumnya, dalam acara ini sejumlah narasumber dari berbagai bidang turut berbagi pandangan strategis. Awalil Rizky, Ekonom Bright Institute, membahas kondisi dan arah perekonomian nasional; Prof. Dr. Drs. Muhammad Nur, DEA, Guru Besar UNDIP, mengulas aspek ketahanan pangan di tengah tantangan global.
Prof. dr. Zaenal Muttaqin, Sp.BS, Ph.D., Guru Besar UNDIP, menyoroti isu kesehatan masyarakat dan ketahanan sistem kesehatan nasional; Dr. M. Taufik, S.H., M.H., Dosen UNISSULA, mengupas dimensi hukum dan keadilan sosial dalam upaya membangun Indonesia yang berdaya. (EJP)