Daily News | Jakarta – Sejak awal, proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCJB) dinilai lebih banyak merugikan Indonesia ketimbang menguntungkan rakyatnya. Didanai oleh Bank Sentral China, proyek ini dianggap sebagai bentuk penyerahan kedaulatan ekonomi, lahir dari keputusan politik yang tergesa-gesa dan tidak melalui kajian teknokratis yang matang.
Guru besar riset politik BRIN, Ikrar Nusa Bakti, menelusuri kejanggalan sejak perencanaan proyek. Mantan Menteri Perhubungan Ignasius Jonan sempat menolak proyek karena jarak Jakarta–Bandung yang terlalu pendek dan sudah memiliki layanan kereta cepat seperti Parahyangan dan Argo Gede. Penolakan itu berujung pada pemecatannya.
Awalnya, Jepang menawarkan pendanaan senilai USD 6,2 miliar dengan bunga rendah 0,1 persen dan syarat jaminan dari APBN. Namun, pemerintah menolak karena tak ingin menanggung proyek lewat APBN, dan kemudian beralih ke China, yang menawarkan tanpa jaminan APBN. Ironisnya, setelah kontrak diteken, semua berubah: bunga pinjaman melonjak ke 2 persen, bahkan kini mencapai 3,4 persen—tiga puluh empat kali lipat lebih tinggi dari tawaran Jepang.
Meski semula disebut proyek B to B, kenyataannya utang dan bunganya kini dijamin oleh negara. Akibatnya, proyek mengalami cost overrun hingga USD 1,2 miliar (Rp 18,2 triliun) pada 2023, dengan total biaya membengkak menjadi Rp 180 triliun, jauh dari estimasi awal Rp 86 triliun.
Menurut Ikrar, kesalahan terbesar adalah pemilihan mitra. Pemerintah China bahkan kini meminta perpanjangan konsesi hingga 80 tahun, yang berarti Indonesia akan menanggung beban utang lintas generasi. “Benarlah kata Faisal Basri, proyek ini adalah simbol kebodohan kebijakan publik,” ujarnya.
Selain masalah finansial, proyek ini juga berdampak pada kebijakan tenaga kerja. Sejumlah aturan, seperti Omnibus Law, membuka pintu bagi tenaga kerja asing tanpa kewajiban menguasai bahasa Indonesia. Janji transfer teknologi pun tak terwujud karena sebagian besar tenaga kerja berasal dari China.
Ikrar mendukung sikap Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa yang menolak penjaminan proyek KCJB lewat APBN. “Ia tidak boleh menyerah pada tekanan para pejabat yang mendesak hal itu,” tegasnya.
Mantan Ketua AJI Lukas Luwarso menilai proyek kereta cepat Whoosh, yang awalnya digadang menjadi simbol kemajuan Indonesia, justru menjadi “barang busuk”. Biaya proyek meningkat dari Rp 86 triliun menjadi Rp 118 triliun, meninggalkan utang yang mustahil terbayar dari penjualan tiket. “Kereta cepat bukan barang busuk. Yang busuk adalah pemerintahan yang memaksakan diri menjalankan proyek yang tak dibutuhkan rakyat,” ujarnya.
Lukas menyoroti peran Luhut Binsar Panjaitan, yang disebut sebagai “power broker” di balik berbagai proyek strategis, dari energi hingga investasi. Ia menilai Luhut sering berdalih bahwa pembengkakan biaya adalah hal normal, padahal kendali proyek telah banyak berpindah ke tangan China.
Sementara itu, Said Didu, mantan Sekretaris Kementerian BUMN, menyebut proyek ini harus dijadikan bahan evaluasi nasional. Ia menilai kebijakan publik seharusnya dimulai dari kajian teknokratis, lalu kajian birokratis, baru kemudian menjadi keputusan politik—bukan sebaliknya. “Proyek ini diambil secara grusa-grusu dan penuh kepentingan politik. Harus ada pertanggungjawaban,” tegasnya.
Kini, proyek prestisius yang dulunya dibanggakan sebagai simbol kemajuan Indonesia justru menjadi beban fiskal jangka panjang dan pelajaran pahit tentang pentingnya kehati-hatian dalam mengambil keputusan strategis nasional. (EJP)




























