Daily News | Jakarta – Proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCJB) atau Whoosh kembali menjadi sorotan. Setelah diresmikan pada 2 Oktober 2023, proyek ini masih membebani keuangan negara melalui BUMN yang terlibat, terutama PT Kereta Api Indonesia (KAI), akibat tingginya utang dan rendahnya pendapatan operasional.
Sejak dimulai pada 2016, proyek yang digagas Presiden Joko Widodo ini menuai kritik. Banyak pihak menilai jarak Jakarta–Bandung yang hanya sekitar 150 kilometer tidak layak untuk kereta cepat. Jalur tersebut sudah memiliki layanan kereta Parahyangan dan akses tol yang efisien. Persoalan bertambah ketika lokasi stasiun berada jauh dari pusat kota—Tegalluar di Bandung dan Halim di Jakarta—yang menyulitkan calon penumpang.
Kritik juga muncul terkait perizinan. Menteri Perhubungan kala itu, Ignasius Jonan, menolak menandatangani izin dan bahkan absen dalam peletakan batu pertama. Penolakan itu menjadi sinyal awal bahwa proyek ini bermasalah secara teknis dan kebijakan.
Biaya membengkak, utang menggunung
Selama pembangunannya, proyek Whoosh mengalami cost overrun sebesar US$ 1,2 miliar akibat pembebasan lahan dan lonjakan biaya lainnya. Total investasi kini mencapai US$ 7,27 miliar, atau sekitar Rp 118 triliun, jauh melampaui perhitungan awal sebesar Rp 86 triliun.
Empat BUMN terlibat dalam konsorsium PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI)—yakni KAI, Wijaya Karya, Jasa Marga, dan PTPN VIII—dengan KAI memegang saham mayoritas 58,53%. Posisi ini membuat KAI menanggung beban paling besar, baik biaya operasional maupun pembayaran utang kepada China Development Bank (CDB).
Dalam laporan keuangannya per Juni 2025, PSBI mencatat kerugian Rp 4,2 triliun pada 2024 dan Rp 1,6 triliun sepanjang semester I-2025. Pendapatan dari tiket tidak mampu menutupi biaya bunga yang mencapai Rp 2 triliun per tahun. Dengan harga tiket rata-rata Rp 250.000 dan penjualan sekitar 6 juta tiket per tahun, pendapatan kotor hanya sekitar Rp 1,5 triliun—jauh dari cukup untuk menutup cicilan utang.
Dari Jepang ke China
Awalnya, proyek KCJB direncanakan bersama Jepang melalui Japan International Cooperation Agency (JICA). Jepang menawarkan pinjaman bunga 0,1% per tahun selama 40 tahun dengan nilai investasi US$ 6,2 miliar, serta telah mengeluarkan dana US$ 3,5 juta untuk studi kelayakan. Namun, Jepang mensyaratkan jaminan dari APBN.
Tawaran ini ditolak oleh Menteri BUMN Rini Soemarno, yang lebih memilih penawaran China sebesar US$ 5,5 miliar dengan janji tidak membebani APBN. Proyek pun dijalankan melalui skema business to business (B2B) antara BUMN Indonesia dan konsorsium China Railway.
Presiden Jokowi menegaskan proyek ini murni dibiayai BUMN tanpa jaminan negara. “Kita tidak ingin memberi beban pada APBN,” ujarnya pada 2015. Namun, janji itu berubah. Pada 2023, pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan No. 89/2023 yang membuka opsi penjaminan utang proyek kereta cepat menggunakan keuangan negara.
Risiko dan tanggung jawab
Langkah tersebut menuai kritik karena mengkhianati prinsip awal proyek yang disebut tidak menggunakan dana publik. Apalagi, kerugian besar dan utang tinggi kini membebani BUMN yang seharusnya menjaga kesehatan keuangan negara.
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan, pemerintah tidak akan menggunakan APBN untuk menanggung utang Whoosh. Menurutnya, seluruh tanggung jawab finansial harus ditanggung oleh konsorsium PT KCIC sebagai pelaksana proyek.
Namun, jika tidak dikelola dengan cermat, risiko utang Whoosh bisa berdampak luas pada stabilitas fiskal dan kredibilitas BUMN. Kontroversi tampaknya belum akan berhenti selama keputusan strategis belum diambil secara bijak oleh pemerintah dan Danantara—entitas baru yang disebut akan mengelola restrukturisasi utang.
Proyek prestisius yang dahulu digadang sebagai simbol kemajuan kini menjadi pelajaran mahal tentang pentingnya kehati-hatian fiskal dan transparansi kebijakan publik. (EJP)



























