Daily News | Jakarta – Pengamat politik sekaligus Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, Prof. Burhanuddin Muhtadi mengapresiasi mantan Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan karena telah membahas penelitiannya di Universitas Padjajaran beberapa waktu lalu.
Dalam acara Dies Natalis FISIP Universitas Padjajaran, Anies Baswedan mengutip artikel terbaru Prof. Burhanuddin bersama dua kolega Eve Warburton dan Liam Gammon yang terbit di Journal of East Asian Studies, Cambridge University Press. Jurnal itu berjudul “Complacent Democrats: The Political Preferences of Gen Z Indonesians.”
“Wah keren, politisi bacaannya jurnal. Makasih Pak Anies,” kata Prof. Burhanuddin, dikutip KBA News dari Instagram resminya, Minggu, 19 Oktober 2025.
Prof. Burhanuddin Muhtadi adalah seorang akademisi, penulis, dan pengamat politik Indonesia yang terkemuka. Ia menjabat sebagai Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia dan dosen di Prodi Ilmu Politik, FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta serta Pascasarjana Universitas Paramadina.
Dinilai penting
Sebelumnya, Anies menilai bahwa jurnal yang terbit pada 21 Juli 2025 tersebut sangat penting untuk dibaca oleh masyarakat.
Pertama, kata dia, Gen Z di Indonesia yang lahir pada era demokrasi menganggap demokrasi sebagai sesuatu yang diberikan, sesuatu yang sudah tersedia begitu saja.
“Mereka tidak mengalami masa perjuangan seperti generasi sebelumnya yang hidup pada era otoritarian,” kata Anies.
Kedua, dalam berbagai survei, Gen Z justru menunjukkan tingkat kepuasan tertinggi terhadap praktik demokrasi di Indonesia. Padahal, kata Anies, saat ini kualitas demokrasi sedang menurun. Namun Gen Z tetap mengatakan, “I’m happy, I’m satisfied.”
Ketiga, Gen Z memandang demokrasi sebagai sistem terbaik bagi sebuah negara, tetapi mereka tidak menunjukkan sikap kritis ketika terjadi kemunduran demokrasi dan muncul kecenderungan otoritarianisme.
Keempat, dukungan politik Gen Z cenderung didasarkan pada daya tarik personal, bukan pada rekam jejak, substansi, atau gagasan. Yang penting terlihat menarik. Apa gagasannya tidak ditanyakan, apa yang dirancang tidak dipikirkan. Ini menjadi fenomena yang perlu dicermati.
“Ke depan, menurut tulisan tersebut, menerima demokrasi tanpa sikap kritis dapat menjadi enabling factor yang mempercepat kemunduran demokrasi,” jelasnya.
Karena itu, lanjut Anies, perlu edukasi yang lebih aktif untuk memperkuat demokrasi. Edukasi ini harus menekankan pentingnya substansi dan rekam jejak dalam proses memilih kepemimpinan nasional, agar tidak terjadi kemunduran demokrasi.
“Nah, kampus kita saat ini berhadapan dengan situasi seperti itu. Mahasiswanya hidup di abad ke-21, dosennya pola pikirnya masih abad ke-20, sementara pengaturan ruang kelasnya masih seperti abad ke-19. Ruang kelas kita masih sama seperti dulu, tidak banyak berubah,” ujarnya. (DJP)



























