Daily News | Jakarta – Isu bagi-bagi jabatan adalah hal yang umum di Indonesia. Sifat balas budi politik sudah mengakar dalam sistem perpolitikan Tanah Air.
Tokoh Perubahan Anies Baswedan baru-baru ini mengeluarkan sindiran terhadap pemerintah yang semakin jauh dari prinsip integritas dan meritokrasi.
Anies menilai banyak jabatan di pemerintahan didapat bukan karena pertimbangan kompetensi, melainkan kedekatan politik dan kepentingan kekuasaan.
“Banyak tanggung jawab publik hari ini diberikan bukan karena kompetensi, tapi karena koneksi,” ujar Anies saat menjadi keynote speaker dalam Dialog Kebangsaan yang digelar DPW Gerakan Rakyat Jawa Tengah di Semarang pada Rabu 8 Oktober 2025.
Pernyataan Anies diindahkan oleh Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO), Dedi Kurniasyah. Menurutnya, pernyataan Anies merupakan fakta yang sulit dibantah oleh pihak manapun.
“Jika mencermati komposisi elit pemerintah, tidak keliru apa yang diutarakan Anies, faktanya memang banyak tokoh terlibat dalam pemerintah bukan faktor kapasitas, melainkan soal kontribusi kedekatan secara politis maupun personal,” kata Dedi saat dihubungi KBA News melalui pesan WhatsApp, Minggu, 19 Oktober 2025.
Dedi melihat, komposisi di Kabinet Merah Putih mayoritas diisi oleh orang-orang yang berada dalam barisan Presiden Prabowo Subianto saat Pilpres 2024 kemarin.
Menurutnya, isu bagi-bagi jabatan adalah hal yang umum di Indonesia. Sifat balas budi politik sudah mengakar dalam sistem perpolitikan Tanah Air.
Kondisi tersebut jelas semakin menggerus prinsip integritas dalam diri pemerintahan. Sebab itu, ia merasa pernyataan Anies sebagai bentuk kritik terhadap kebijakan Prabowo dalam menyusun kabinet.
“Kita bisa melihat dominasi anggota kabinet adalah mereka yang bekerja dalam Pilpres, relasi Gerindra hingga tokoh terdekat Presiden, di jajaran Wamen juga banyak dijumpai tokoh yang miliki relasi erat dengan Gibran atau Jokowi,” tuturnya.
Ia juga menjelaskan, pemberian jabatan pemerintah berdasarkan koneksi sejatinya tidak menyalahi aturan selama masih memiliki integritas serta kompetensi yang baik.
Fenomena tersebut menjadi negatif lantaran banyak yang sudah mendapat jabatan justru terjerat berbagai kasus korupsi. Kemudian, hal tersebut juga cenderung membuka peluang terjadinya konlik kepentingan dalam struktur kekuasaan.
“Sebenarnya, tidak perlu ada dikotomi soal meritokrasi atau oligarki, sepanjang memang punya kapasitas, hanya saja dengan proses tidak merit membuat relasi individu seolah kehilangan kapasitas, bisa jadi tokoh tertentu miliki kapasitas, tetapi karena ditunjuk karena faktor kedekatan, maka kapasitas sering dialihkan dan lebih mendahului kepentingan politik atau personal,” pungkas Dedi. (AM)



























