Daily News | Jakarta – Kalau negara tidak membangun ruang publik, swasta yang akan bangun. Tapi kalau swasta yang bangun, tidak mungkin setara.
Maka, tokoh nasional Anies Baswedan menegaskan bahwa ruang publik merupakan manifestasi nyata dari demokrasi dan kesetaraan sosial. Menurutnya, ruang publik yang inklusif mampu menghadirkan pengalaman egaliter di tengah masyarakat yang majemuk.
Hal itu disampaikan Anies dalam diskusi bersama ratusan mahasiswa Fakultas Ilmu Politik Universitas Airlangga, Surabaya, yang disiarkan melalui kanal YouTube Anies Baswedan dan dikutip KBA News pada Minggu, 19 Oktober 2025.
“Di tempat transportasi umum, kalau Anda naik bus kota atau MRT di Jakarta, maka di situ Anda bisa merasakan yang namanya CEO berdiri di samping office boy. Itu tidak bisa ditemukan kalau bukan di ruang publik,” ujar Anies.
Ia menjelaskan, di ruang-ruang publik seperti transportasi umum, prinsip kesetaraan bisa dirasakan secara langsung karena tidak ada sekat sosial yang membedakan satu individu dengan yang lain.
“Kalau di bandara, misalnya, ada pemisahan antara business lounge dan reguler. Tapi di bus atau MRT, semua setara. Di situlah demokrasi sosial itu hidup,” tambahnya.
Demokratisasi ruang kota
Anies kemudian mencontohkan transformasi kawasan Jalan Jenderal Sudirman di Jakarta sebagai wujud nyata demokratisasi ruang publik. Dahulu, kata dia, kawasan itu hanya menjadi milik kalangan profesional dan pemilik gedung-gedung tinggi yang bekerja di sekitar area tersebut.
“Dulu di Sudirman tidak ada trotoar. Jadi yang ke jalan itu hanya orang yang bekerja di sana. Rakyat biasa tidak ada yang lewat,” kenang Anies.
Namun situasi berubah setelah trotoar lebar dibangun di sepanjang jalan tersebut. Kini, masyarakat dari berbagai lapisan bisa menikmati ruang kota yang sama, tanpa batas status sosial.
“Begitu dibuatkan trotoar yang lebar, rakyat biasa bisa melewati jalan termahal di negeri ini. Itulah namanya demokratisasi ruang publik,” ungkapnya.
Negara harus hadir, bukan swasta
Anies menekankan pentingnya peran negara dalam membangun ruang publik yang setara. Jika pembangunan ruang publik hanya diserahkan kepada pihak swasta, maka kesetaraan tidak akan pernah tercapai.
“Kalau negara tidak membangun ruang publik, swasta yang akan bangun. Tapi kalau swasta yang bangun, tidak mungkin setara,” ujarnya.
Ia memberi contoh, pusat perbelanjaan atau mal memang berfungsi sebagai ruang publik, namun tetap memiliki segmentasi sosial.
“Mall itu ruang publik. Siapa saja bisa masuk dan keluar. Tapi sejak awal, pengembang sudah menentukan: ini mall kelas A, B, atau C. Di mall kelas A, rakyat kelas C tidak berani masuk. Di mall kelas C, rakyat kelas A tidak tertarik datang. Tidak terjadi integrasi perasaan kesetaraan,” jelas Anies.
Karena itu, menurutnya, ruang publik yang dikelola negara memiliki fungsi penting dalam membangun perasaan setara dan kebersamaan antarwarga. Ruang publik bukan hanya soal tempat, melainkan juga simbol dari demokrasi yang hidup dalam keseharian.
Kesetaraan sebagai inti demokrasi
Bagi Anies, ruang publik adalah instrumen penting dalam membangun demokrasi yang substantif. Melalui ruang publik yang terbuka dan inklusif, masyarakat belajar hidup berdampingan tanpa memandang status ekonomi, jabatan, atau latar belakang sosial.
“Ruang publik adalah ruang yang menyetarakan. Di sanalah demokrasi itu terasa nyata, bukan hanya dalam wacana,” pungkas Anies. (EJP)




























