Daily News | Jakarta – Disadari, nilai-nilai itu harus diterjemahkan ke dalam bentuk program nyata. Karena dua kelompok ini—masyarakat atas dan bawah—tidak pernah benar-benar bertemu.
Maka, dalam sebuah pertemuan bersama mahasiswa Indonesia di Belanda, Anies Baswedan berbagi refleksi tentang pengalaman dan kebijakan yang pernah ia jalankan saat memimpin Jakarta. Salah satu hal yang ia soroti adalah persoalan kesenjangan sosial yang begitu nyata, bahkan di ruang publik.
Anies memulai kisahnya dengan mengajak para mahasiswa membayangkan suasana Jakarta beberapa tahun lalu, terutama saat Car Free Day di kawasan Sudirman–Thamrin.
“Ini Tamrin, ini Jalan Sudirman. Saya ingin mengajak Anda semua kembali ke masa beberapa tahun lalu, saat kita punya Car Free Day. Masih ingat suasana waktu itu? Di area Bundaran sini, penuh dengan pedagang kaki lima,” ujar Anies dalam bahasa Inggris melalui kanal YouTube pribadi seperti dikutip KBA News, Kamis, 6 November 2025.
Menurut Anies, kala itu terjadi pemisahan sosial yang cukup kentara di ruang publik. Di satu sisi, warga kelas menengah ke atas datang untuk berolahraga; di sisi lain, para pedagang kaki lima yang mayoritas berasal dari kalangan menengah bawah berjualan di area yang sama — namun tanpa benar-benar berinteraksi.
“Kelompok berpenghasilan rendah sebenarnya sedang menikmati hasil UMKM. Barang-barangnya murah dan terjangkau. Tapi orang-orang yang berolahraga justru menghindari area itu. Saya berpikir, ‘Astaga, bahkan di ruang publik pun ada segregasi.’ Ada pemisahan sosial yang begitu nyata,” kata Anies.
Ia menambahkan, kondisi tersebut menjadi titik refleksi penting untuk membangun kebijakan yang lebih adil. Menurutnya, membangun kota tidak hanya soal infrastruktur, tetapi juga tentang nilai dan keadilan sosial.
“Nilai-nilai itu harus diterjemahkan ke dalam bentuk program nyata. Karena dua kelompok ini—masyarakat atas dan bawah—tidak pernah benar-benar bertemu,” tuturnya.
Sebagai solusi, Anies kemudian mengatur ulang lokasi pedagang kaki lima. Ia membuat aturan baru: pedagang hanya boleh berjualan di trotoar, bukan di jalan raya.
“Awalnya terjadi kekacauan. Tapi aturan harus dijalankan. Setelah itu, orang-orang yang berolahraga mulai datang lagi. Mereka bisa berjalan, berlari, dan bersepeda dengan nyaman. Sementara pedagang tetap bisa berjualan di trotoar,” jelasnya.
Hasilnya, ruang publik pun menjadi tempat yang inklusif. “Akhirnya setiap hari Minggu, masyarakat dari berbagai lapisan bisa berinteraksi di tempat yang sama. Mereka saling bertemu, bertegur sapa, bahkan bisa berhenti untuk membeli makanan atau minuman. Kini, tidak ada lagi pemisahan sosial di ruang publik,” pungkasnya.
Dimulai dari fasilitasi pejalan kaki
Sementara itu, dalam sebuah pertemuan dengan mahasiswa Indonesia di Georgetown University Washington DC, Anies Baswedan berbagi pandangannya tentang keadilan dan inklusivitas dalam sistem transportasi Jakarta. Diskusi yang disampaikannya dalam bahasa Inggris itu mendapat sambutan positif dari para peserta, terutama ketika Anies menekankan pentingnya peran pemerintah dalam menghadirkan transportasi publik yang adil bagi semua.
Anies mengungkapkan, saat dirinya menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta, saat itu hanya 42 persen wilayah ibu kota yang terlayani oleh transportasi umum. “Lalu bagaimana dengan 58 persen sisanya? Mereka tidak terlayani oleh transportasi umum,” ujar Anies dalam diskusi yang diunggah melalui video Reel YouTube pribadinya dikutip KBA News, Kamis, 6 November 2025.
Menurutnya, inklusivitas dalam pembangunan tidak hanya berbicara tentang pembangunan jalan atau infrastruktur besar, melainkan tentang memastikan setiap warga memiliki akses yang setara terhadap transportasi. “Ketika kita berbicara tentang inklusivitas, tentang keadilan, mari pastikan bahwa transportasi umum menjangkau lebih dari 90 persen wilayah Jakarta. Itulah inklusivitas—tidak ada yang dikecualikan,” tegasnya.
Anies juga menyoroti cara berpikir pemerintah dalam memahami keadilan mobilitas. Ia mengingatkan bahwa akses berjalan kaki, yang sering dianggap sepele, sebenarnya merupakan hak dasar setiap warga kota.
“Saya bertanya, ‘Kendaraan apa yang dimiliki oleh semua orang?’ Waktu itu ada yang menjawab: motor. Saya bilang, tidak, bukan motor. Jawabannya adalah kaki kita. Ya, kaki kita sendiri,” kenangnya.
Pernyataan itu menggambarkan filosofi Anies bahwa setiap kebijakan transportasi harus dimulai dari hal paling sederhana—yakni penyediaan fasilitas yang aman dan layak bagi pejalan kaki. “Apakah kita, sebagai pemerintah, sudah menyediakan fasilitas bagi para pejalan kaki? Apakah kita sudah cukup membangunnya? Jawabannya: belum,” lanjutnya.
Menurut Anies, perubahan menuju kota yang adil dan inklusif tidak akan datang dari warga semata, melainkan dari kemauan dan tindakan pemerintah untuk memulainya. “Ketika pemikiran ini diterjemahkan ke dalam setiap dinas, barulah kita sadar bahwa inklusivitas dimulai dari diri kita sendiri—dari pemerintah kota, bukan semata-mata dari warga Jakarta,” tutupnya. (EJP)



























