Daily News | Jakarta – Pakar Manajemen Publik sekaligus Anggota Dewan Pakar Gerakan Rakyat, Nandang Sutisna, menilai penetapan Roy Suryo dan sejumlah aktivis sebagai tersangka dalam kasus dugaan ijazah palsu mantan Presiden Joko Widodo merupakan kemunduran serius dalam praktik demokrasi Indonesia.
Menurutnya, langkah hukum tersebut tidak hanya menunjukkan kecenderungan represif terhadap kritik publik, tetapi juga menambah beban politik bagi Presiden Prabowo Subianto.
“Kasus ini menandakan kemenangan bagi kekuasaan lama, tapi kekalahan bagi demokrasi. Presiden Prabowo kini memikul beban politik dan moral untuk membuktikan bahwa pemerintahannya tidak mewarisi pola represi dari era sebelumnya,” ujar Nandang Sutisna dalam keterangan tertulis di Bogor, Jumat (7/11)
Ijazah tak pernah ditunjukkan, kritik malah dikriminalisasi
Nandang menyoroti bahwa hingga kini ijazah asli Joko Widodo tidak pernah ditunjukkan secara sukarela kepada publik, tidak pada masa jabatannya sebagai presiden, tidak pada forum gelar perkara, dan bahkan tidak dalam sidang-sidang gugatan hukum terkait dugaan ijazah palsu tersebut.
Menurutnya, sikap tertutup itu memperlihatkan tidak adanya itikad baik dari seorang tokoh negara, terlebih dari mantan presiden yang seharusnya menjadi teladan transparansi.
“Alih-alih menenangkan publik dengan bukti, mantan presiden justru membiarkan aparat menjerat mereka yang bertanya. Ini bukan cara seorang negarawan, apalagi di tengah era keterbukaan,”
tegas Nandang.
Ia menambahkan, tindakan hukum terhadap Roy Suryo justru memperkuat persepsi publik bahwa negara lebih memilih jalan represi ketimbang klarifikasi. Padahal, dalam manajemen pemerintahan modern, keterbukaan informasi dan transparansi pejabat publik merupakan prinsip dasar good governance
Bayang kekuasaan Jokowi masih kuat
Meski Joko Widodo telah berstatus sebagai mantan presiden, pengaruh politiknya masih terasa kuat melalui posisi anaknya, Gibran Rakabuming Raka, yang kini menjabat sebagai Wakil Presiden.
Dalam konteks itu, penetapan tersangka terhadap para pengkritik Jokowi tidak bisa dilepaskan dari dinamika politik kekuasaan yang masih berlapis antara rezim lama dan pemerintahan baru.
“Kita melihat kesinambungan politik yang kuat antara masa Jokowi dan masa Prabowo-Gibran. Karena itu, setiap tindakan represif yang menyentuh isu Jokowi akan ikut membebani legitimasi pemerintahan Prabowo,” kata Nandang.
Ujian awal untuk pemerintahan baru
Menurut Nandang, kasus ini menjadi ujian awal bagi Presiden Prabowo untuk membuktikan komitmennya terhadap prinsip demokrasi dan supremasi hukum. Ia menilai Prabowo harus berani memastikan bahwa hukum tidak lagi menjadi alat kekuasaan, serta memberikan jaminan bahwa kebebasan berpendapat dilindungi secara nyata.
“Presiden Prabowo harus tampil sebagai pemimpin yang berdaulat dan berani. Jika kasus seperti ini dibiarkan, publik akan menilai bahwa era baru hanya menjadi kelanjutan dari pemerintahan lama berganti pemimpin, tapi bukan berganti nilai,”
ujarnya.
Nandang menutup pernyataannya dengan menegaskan bahwa demokrasi sejati hanya bisa tumbuh jika rakyat diberi ruang untuk bertanya tanpa takut dikriminalisasi.
“Kebenaran tidak lahir dari penangkapan, tapi dari keberanian membuka bukti. Negara seharusnya menjawab dengan transparansi, bukan intimidasi,” pungkasnya. (DJP)



























