Daily News | Jakarta – Fasilitas vital yang seharusnya berada di bawah kontrol negara berisiko berpindah menjadi instrumen kekuasaan industri
Maka, kritik tajam kembali muncul terkait pembangunan Bandara IMIP Morowali dari mantan Sekretaris Kementerian BUMN, Said Didu. Ia menilai proyek tersebut lebih menguntungkan kepentingan industri besar ketimbang masyarakat.
Dikutip KBA News dari unggahan YouTube Abraham Samad Speak Up berjudul “Bandara IMIP Morowali. Said Didu: Morowali Adalah Pusat Perampokan Sumber Daya Alam | #SPEAKUP” pada Minggu, 7 Desember 2025, Said Didu menyebut bahwa pembangunan bandara itu “bukan untuk masyarakat, tapi untuk melayani kepentingan industri besar.”
Menurutnya, keberadaan bandara di dalam kawasan industri justru berpotensi memperkuat dominasi korporasi raksasa atas Morowali. “Bandara ini justru akan membuat perusahaan makin kuat menguasai Morowali,” ujarnya.
Ia menilai bahwa fasilitas vital yang seharusnya berada di bawah kontrol negara berisiko berpindah menjadi instrumen kekuasaan industri. “Negara bisa makin tidak punya kendali kalau semua fasilitas vital ada di tangan perusahaan,” tegasnya.
Selain persoalan kendali, Said Didu juga mempertanyakan aspek keamanan dan regulasi. Ia mengingatkan bahwa bandara merupakan objek vital nasional yang membutuhkan standar pengawasan ketat.
“Bandara itu objek vital. Kalau dikuasai korporasi, bagaimana pengawasannya?” katanya. Ia menegaskan bahwa pembangunan infrastruktur penerbangan harus mengikuti aturan negara, bukan mekanisme internal perusahaan. “Pembangunan bandara harus mengikuti aturan negara, bukan aturan perusahaan,” tambahnya.
Said Didu juga menyoroti minimnya manfaat yang diterima masyarakat lokal.
Ia memperingatkan agar proyek ini tidak menjadikan warga hanya sebagai penonton. “Jangan sampai masyarakat hanya jadi penonton sementara semua keuntungan dinikmati industri,” ujarnya.
Ia menekankan bahwa Morowali saat ini sudah menanggung beban ekologis berat akibat aktivitas industri, sehingga pembangunan bandara dapat menambah tekanan lingkungan. “Morowali sudah berat bebannya. Bandara baru bisa menambah tekanan lingkungan,” ujar Said Didu.
Ia mendesak pemerintah membuka detail pendanaan, skema penguasaan, dan tujuan pembangunan bandara agar publik dapat menilai potensi konflik kepentingan.
“Publik berhak tahu siapa yang membiayai, siapa yang menguasai, dan apa tujuan bandara itu,” tegasnya.
Menurutnya, diamnya pemerintah dapat menjadi preseden buruk untuk daerah lain yang rentan berada di bawah dominasi industri besar. “Kalau negara diam, ini akan menjadi preseden buruk untuk daerah lain,” katanya.
Pada bagian akhir, Said Didu menyerukan agar media, akademisi, dan publik terus melakukan pengawasan terhadap proyek-proyek strategis seperti ini. “Media harus ikut mengawasi, karena ini menyangkut masa depan daerah,” pungkasnya. (EJP)




























