Daily News | Jakarta – Rakyat mengetahui bahwa bencana banjir bandang yang melanda tiga provinsi Sumatera, yaitu Aceh, Sumut, dan Sumbar bukan bencana alami tetapi karena hulu sungai di Aceh dipenuhi oleh perusahaan sawit dan tambang. Salah satu pemilik hutan tanaman industri (HTI) adalah Prabowo yang merupakan Presiden Republik Indonesia sekarang.
“Masalah itu pernah muncul dalam perdebatan Pilpres tahun 2019 antara Jokowi dan Prabowo. Menurut Jokowi, Prabowo mempunyai lahan di tiga kabupaten di Aceh yang luasnya mencapai lima kali negara Singapura. Prabowo membenarkan. Tapi, sampai saat ini tidak ada tindak lanjut dari perdebatan itu. Adem-ayem saja hingga terjadi banjir bandang yang dimulai pada 20 November,” kata Ikrar Nusa Bhakti, Profesor Riset LIPI (sekarang bernama BRIN) yang juga mantan Duta Besar RI untuk Tunisia, Senin, 8 Desember 2025.
Menurut organisasi penyelamatan lingkungan, yaitu Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) dan Greenpeace Indonesia, Prabowo mempunyai sekitar 93.000 hingga 97.000 hektar lahan HTI di sana. Kebijakan hutan sudah lama sejak zaman Orde Baru Soeharto yang merupakan mertua Probowo. Jadi, bencana itu bukan akibat yang datang tiba-tiba tetapi merupakan tumpukan persoalan yang lahir dari masa lalu.
Ketika Presiden Prabowo berpidato di acara HUT ke-61 Partai Golkar beberapa hari setelah banjir, dia tidak mengakui bahwa dia adalah salah seorang penyebab dari banjir itu. HTI-nya sangat luas, hampir lima kali luas Jakarta, karena luas Jakarta hampir sama dengan Singapura. “Dia pun nampak tidak menunjukkan perasaan menyesal dan minta maaf atas bencana yang terjadi di sana. Malah dia menyatakan kebanggaannya bahwa negara kita bisa menjadi negara penghasil sawit yang besar. Lalu mendorong agar lahan sawit itu terus diperluas,” kata Ikrar.
Dalam kesempatan di Golkar itu Prabowo lebih banyak membahas demokrasi Indonesia yang dikatakannya, berbeda dengan demokrasi Barat baik Eropa atau Amerika. Ini jelas nampaknya ingin mengalihkan persoalan atas musibah yang sedang terjadi dan penanganannya yang kurang baik. Membanggakan demokrasi Indonesia jelas merupakan tindakan yang tidak tepat dalam kondisi di mana praktek pemilihan curang dan politik uang marak terjadi dalam skala yang di luar nalar.
Terlihat seakan berkilah
Menurut alumni Jurusan Ilmu Politik FISIP UI ini, Prabowo seakan berkilah dalam penanganan bencana banjir dahsyat itu dengan membahas demokrasi yang tidak membanggakan itu. Apalagi dengan menyatakan jika kita menjadikan musibah itu sebagai bencana nasional berarti kita akan menerima bantuan asing. Lalu kita akan didikte asing. Itu, menurut Ikrar, sangat naif sekali.
“Bisa jadi Prabowo tidak mau menerima bantuan asing karena takut jika orang asing itu masuk mereka akan tahu bahwa bencana itu terjadi karena disebabkan oleh perusahaan HTI dan sawit Prabowo yang ada di hulu sungai yang kemudian karena musim hujan dan badai siklon tropis di Selat Malaka menyebabkan banjir bandang terjadi,” keluh Ikrar.
Kalau Prabowo mengakui bahwa dia merupakan salah satu penyebab bencana dan dengan tulus meminta maaf, nampaknya rakyat akan memaafkan. Menurut Ikrar, rakat Indonesia itu sangatlah pemaaf. Mereka akan melupakan duka yang dialami jika ada orang yang minta maaf. Mestinya itu yang dilakukan Prabowo.
“Beberapa waktu lalu, dua pekan setelah musibah besar itu, saya menonton laporan Kompas TV secara live yang menayangkan Menteri ESDM Bahlil menyatakan bahwa malam ini sebanyak 93 persen wilayah musibah listriknya akan menyala kembali, terang benderang. Ternyata laporan wartawan dari Bireuen menyebutkan di kabupaten itu 100 persen belum menyala. Bahlil telah melakukan kebohongan publik dalam musibah yang besar itu,” tegas Ikrar.
Ikrar kembali mendesak agar Presiden Prabowo mengakui, perusahaannya ikut terlibat dalam musibah di Sumatera. Minta maaf dengan tulus dan berjanji untuk memperbaiki kerusakan dan melakukan peninjauan kebijakan atas hutan dan lingkungan di seluruh Indonesia agar bencana tidak terulang lagi. (AM)





























