Daily News | Jakarta – Untuk meraih kemakmuran dan kesejahteraan yang nyata dan riel, dalam 10 tahun ke depan mutlak dibutuhkan kemandirian dan ketahanan pangan dan energi. Kalau tidak maka cita-cita kemerdekaan seperti yang dicetuskan para pendiri negara (founding-fathers) akan sukar untuk diwujudkan. Keseriusan dan ketelitian harus difokuskan agar semua itu bisa tercapai.
Pengamat ekonomi dari UI-Watch Hasril Hasan menyatakan hal itu kepada KBA News, Kamis, 2 Januari 2025 sebagai pembicaraan awal tahun bagaimana kita melaksanakan pemberdayaan ekonomi untuk rakyat seluruhnya dengan jalan mengefektif dan mengefisienkan sumber-sumber daya energi dan pangan kita. “Berdasarkan pengalaman di dunia ini, tidak ada negara yang makmur dan sejahtera jika tidak memiliki ketahanan pangan dan energi,” kata Alumni Fakultas Ekonomi UI tahun 1967 itu.
Mantan analis pada Tesorro Indonesia Petroleum Company itu mengingatkan, belakangan ini, Indonesia masih dikejutkan dengan situasi ketahanan pangan dan energi. Betapa tidak, katanya, ternyata Indonesia pernah mendapatkan penghargaan internasional dari Badan Pangan PBB (FAO) sebagai negara berprestasi swasembada beras tahun 1981.
“Kok sekarang bisa terancam kembali dengan situasi sebagai negara pengimpor beras. Tidak hanya itu, yang lebih mengejutkan lagi ternyata Indonesia menjadi negara yang ketahanan energi nasionalnya sangat terancam. Ini tentunya merisaukan bagi para pengamat dan pengambil kebijakan di kedua bidang itu,” kata mantan direktur Tuperware Indonesia itu.
Terancamnya kita dalam bidang energi itu dikarenakan dua sebab. Pertama, tidak memiliki sumber cadangan minyak gas bumi nasional yang cukup untuk dapat bebas setiap saat segera diproses menjadi BBM untuk mendukung aktivitas perekonomian nasional. Berbagai upaya sudah dilakukan untuk mencari sumber minyak dan gas baru tetapi belum menunjukkan tanda-tanda bagus.
Cadangan devisa kecil
Kedua, Indonesia tidak memiliki cadangan devisa yang cukup untuk membiayai impor pangan dan BBM yang dibutuhkan rakyat dan perekonomian nasional. Prediksi Bank Dunia mengenai perekonomian Indonesia bahkan tidak menggembirakan dengan menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya maksimal tumbuh sekitar rata-rata 7 persen pertahun selama 10 tahun ke depan.
Menurutnya, hal itu terjadi, karena pemerintah belum menyeluruh (all out) menggerakkan potensi perekonomian Indonesia terlihat seperti tidak berupaya maksimal mengubah UU Penanaman Modal Asing (PMA) yang pertama kali diluncurkan lebih dari 50 tahun yang lalu ( 1967). Artinya, sudah lebih dari setengah abad tidak ada perubahan penanganan atas modal asing yang masuk ke sini.
“Bahkan, dengan Rahmat Allah kepada Bangsa Indonesia ditemukan cadangan minyak-gas bumi sebesar 6,3 milyar barrel di sekitar perairan pantai Aceh. Ini sepertinya tidak memberikan perasaan dan peranan apa -apa kepada Bangsa kita. Ini sungguh menyedihkan dan mencemaskan dan tidak bisa mengantisipasi perkembangan agar menjadi positif bagi kita,” tambahnya.
Ditambahkannya, kalau saja bangsa kita mau sedikit bekerja keras, kita bisa mengubah UU PMA baru yang lebih menarik-atraktif menyambut temuan cadangan minyak- gas sebesar 6,3 milyar barrel tersebut. Ini tentuya penting untuk kepentingan bangsa ini yang memang sedang membutuhkan dana banyak untuk membangun perekonomian nasional yang hancur lebur pasca berakhirnya rezim Jokowi.
“Pemerintahan baru harus belajar dari kesalahan Jokowi selama 10 tahun ini. Apalagi kita amati, Prabowo lebih intelektual dari Jokowi. Sangat sayang jika dia mengulangi kesalahan pemerintahan sebelumnya yang membuat negara hancur, demokrasi mandek, hukum memalukan dan utang luar negeri melilit pinggang,” demikian Hasril Hasan. (DJP)
Discussion about this post