Daily News | Jakarta – Pak Anies pernah mengatakan, kalau regulator ya regulator saja, kalau pemain bisnis ya pemain bisnis saja. Nah, dalam BPI Danantara ini, regulator sekaligus menjadi pemain bisnis, yang tentu sangat bermasalah.
Aksi mahasiswa di Yogyakarta bertajuk Ruwat Ruweting Penguasa Durno belum lama ini menyoroti kebijakan rezim Prabowo-Gibran yang dianggap lebih mengutamakan kepentingan sendiri ketimbang rakyat. Salah satu kebijakan yang mereka kritik adalah pembentukan BPI Danantara, badan investasi BUMN yang dinilai bermasalah dan berpotensi menjadi lahan korupsi.
Pengamat politik Dr. Martadani Noor, MA, mengungkapkan bahwa BPI Danantara merupakan entitas baru yang desainnya belum tuntas. “Secara struktur, BPI Danantara mengendalikan modal dalam skala besar, tetapi memiliki kejanggalan karena beberapa pengurusnya merupakan pejabat negara. Ini menciptakan ambiguitas antara peran regulator dan pemain bisnis,” ujar Martadani saat dihubungi KBA News, Jumat, 14 Maret 2025.
Martadani mengatakan, jauh sebelum Danantara lahir, Anies Baswedan pernah mengingatkan terkait ambiguitas dalam pengelolaan modal ini. Modal yang besar jangan kemudian berdagang dengan rakyat.
“Pak Anies pernah mengatakan, kalau regulator ya regulator saja, kalau pemain bisnis ya pemain bisnis saja. Nah, dalam BPI Danantara ini, regulator sekaligus menjadi pemain bisnis, yang tentu sangat bermasalah,” kata Martadani.
Dekan Fisipol Universitas Widya Mataram Yogyakarta ini juga menyoroti bahwa di banyak negara, entitas serupa dikelola secara independen tanpa campur tangan pejabat negara. “Idealnya, badan semacam ini murni dijalankan oleh profesional tanpa ada intervensi politik. Namun, dalam konteks Danantata, pejabat negara justru terlibat langsung dalam pengambilan keputusan bisnis, yang berpotensi menimbulkan konflik kepentingan,” tambahnya.
Modal awal BPI Danantara yang mencapai Rp14 triliun menjadi sorotan lain. Menurut Martadani, modal sebesar itu seharusnya tidak hanya bersumber dari negara, tetapi juga dari sektor swasta. “Jika entitas ini sepenuhnya mengandalkan modal negara, maka pemodal lain akan merasa tersaingi dan terancam, karena BPI Danantara memiliki akses yang lebih besar terhadap sumber daya dan kebijakan,” jelasnya.
Ia mencontohkan bahwa keberadaan badan investasi dengan modal besar dapat membuat para pemilik modal lama merasa “keder” atau gentar. “Logikanya, ketika ada pemain baru dengan modal triliunan rupiah, tentu pemodal lama yang sudah berada di zona nyaman akan merasa terganggu,” ujarnya.
Martadani juga menyoroti bahwa kepercayaan publik terhadap BPI Danantara lebih didasarkan pada faktor politik, bukan ekonomi. “Mungkin publik percaya karena di dalamnya ada tokoh besar seperti Jokowi dan Susilo Bambang Yudhoyono. Namun, keberhasilan di bidang politik tidak serta-merta menjamin kesuksesan di bidang ekonomi,” tegasnya.
Ia menambahkan bahwa untuk mengelola investasi dalam skala besar, diperlukan tenaga profesional yang benar-benar memahami dunia bisnis. “Jika masih ada intervensi politik, maka BPI Danantara akan sulit mencapai tujuannya sebagai badan investasi yang profesional dan transparan,” imbuhnya.
Kelemahan utama BPI Danantara, menurut Martadani, terletak pada ambiguitas perannya. “Regulator sekaligus pemain bisnis adalah kombinasi yang berbahaya. Jika dikelola seperti ini terus-menerus, maka tidak menutup kemungkinan BPI Danantara akan menjadi ladang baru bagi praktik korupsi,” pungkasnya.
Dengan berbagai permasalahan yang ada, keberadaan BPI Danantara perlu diawasi ketat agar tidak berubah menjadi alat kepentingan segelintir elite yang merugikan rakyat. Transparansi, akuntabilitas, dan pengelolaan yang profesional harus menjadi prioritas utama agar badan ini benar-benar bisa memberikan manfaat bagi perekonomian Indonesia. (EJP)
Discussion about this post