Daily News | Jakarta – Penetapan status tersangka terhadap Tom Lembong dinilai terlalu tergesa-gesa dan terkesan by order tanpa bukti kuat mengenai keuntungan pribadi yang diperoleh dari kebijakan tersebut. #kbanews
Dalam beberapa hari terakhir, kasus hukum yang menjerat mantan Menteri Perdagangan, Tom Lembong, sebagai tersangka dalam kasus impor gula terus menuai sorotan publik. Banyak pihak menyebut Kejaksaan Agung (Kejagung) terlalu gegabah dalam menangani kasus ini.
Konsultan Hukum asal Purbalingga, Surahman Suryatmaja, SE., SH., MH, memberikan pandangannya terhadap proses hukum yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung (Kejagung). “Penetapan status tersangka terhadap Tom Lembong dinilai terlalu tergesa-gesa dan terkesan by order tanpa bukti kuat mengenai keuntungan pribadi yang diperoleh dari kebijakan tersebut,” katanya saat dihubungi KBA News, Kamis, 31 Oktober 2024.
Surahman menyatakan, kebijakan impor gula yang diambil Lembong pada masa jabatannya sebagai Menteri Perdagangan adalah bagian dari produk kebijakan kementerian yang bertujuan untuk menjaga stabilitas harga dan pasokan pangan.
Pendiri S & S Lawfirm Purbalingga ini menegaskan, “Produk kebijakan seperti ini tidak bisa dipidanakan begitu saja, karena jika kebijakan dapat dikriminalisasi, akan membuat pejabat publik khawatir dalam mengambil keputusan.”
Advokat tersebut juga menekankan pentingnya pembuktian aliran dana atau keuntungan yang diperoleh sebelum penetapan tersangka, karena jika tidak ada keuntungan pribadi yang terbukti, proses hukum ini hanya akan memperlihatkan ketidakkonsistenan dalam penegakan hukum.
Surahman juga mempertanyakan dasar hukum yang digunakan Kejagung dalam menetapkan Lembong sebagai tersangka hingga dilakukan penahanan. “Jika tidak ada keuntungan yang diperoleh secara pribadi, maka tidak semestinya sebuah kebijakan dipidana,” tegasnya.
Lebih lanjut, Surahman menilai bahwa dalam sistem hukum, penetapan status tersangka terhadap individu semestinya berdasarkan bukti yang kuat dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Dalam ekspos yang dilakukan Kejagung, menurut Surahman, belum terdapat bukti yang cukup untuk menetapkan Lembong sebagai tersangka.
Ia berpendapat, penetapan status tersangka memerlukan dua alat bukti yang cukup, yaitu kesaksian dari lebih dari satu orang dan barang bukti yang relevan, seperti dokumen, tertangkap tangan, atau bentuk perintah tertulis lainnya. Berdasarkan pandangan ini, Surahman menilai Kejagung masih kurang kuat dalam memaparkan bukti yang mendukung tuduhan terhadap Lembong.
“Persoalan apakah ada kepentingan politis di balik kasus ini adalah masalah lain. “Namun, untuk meningkatkan dari penyelidikan ke penyidikan, hukum harus berdasarkan bukti,” jelasnya.
Dengan berkembangnya kasus ini, Surahman berharap bahwa penegakan hukum bisa dilakukan dengan lebih adil, sehingga tidak terjadi kriminalisasi kebijakan yang mengakibatkan para pejabat publik menjadi ragu dalam menjalankan tugasnya. (HMP)