Daily News | Jakarta – Hati rakyat terkoyak akibat peraturan negara yang tidak berpihak pada kepentingan mereka. Pemerintah lebih mengedepankan kebutuhan elite politik dan anggota DPR, sementara kesejahteraan rakyat pupus menjadi impian.
Begitulah, gelombang demonstrasi besar-besaran melanda berbagai kota di Indonesia dalam beberapa pekan terakhir. Dari Jakarta, Yogyakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Makassar, hingga beberapa kota lainnya, ribuan massa turun ke jalan menuntut perubahan nyata.
Mereka menyuarakan keresahan atas tingginya kondisi terkini, khususnya dalam hal ekonomi, beban pajak yang semakin mencekik, hingga kebijakan pemerintah yang dinilai hanya berpihak pada elite politik. Di saat masyarakat susah, justru wakil rakyat mendapat kenaikan gaji dan tunjangan.
Ketua Lembaga Kebudayaan dan Lingkungan Hidup Yogyakarta, Eko S Dananjaya, menilai pemerintahan Presiden Prabowo Subianto tengah menghadapi ujian berat akibat warisan kebijakan rezim sebelumnya. Ia mengibaratkan situasi politik saat ini pepatah: “Karena nila setitik, rusak susu sebelanga”. “Prabowo ikut menanggung dampak negatif karena memilih melindungi kepentingan Joko Widodo beserta keluarga dan kelompoknya,” katanya kepada KBA News, Sabtu, 30 Agustus 2025.
Eko menegaskan, rakyat Indonesia sudah semakin muak dengan elite politik yang dianggap tidak peka terhadap kesulitan hidup. “Hati rakyat terkoyak akibat peraturan negara yang tidak berpihak pada kepentingan mereka. Pemerintah lebih mengedepankan kebutuhan elite politik dan anggota DPR, sementara kesejahteraan rakyat pupus menjadi impian,” ujarnya.
Ia juga menyoroti kondisi keuangan negara yang mengalami defisit anggaran. Dampaknya, rakyat di daerah terbebani pajak tinggi sehingga sering terjadi gesekan dengan pemerintah daerah. “Bupati dan wali kota jadi sasaran amuk, sementara pemerintah pusat diam dan tidak memberikan solusi yang berintegritas,” tambahnya.
Aktivis 80-an ini menegaskan bahwa rakyat sebenarnya hanya menginginkan kepastian hukum, stabilitas ekonomi, harga kebutuhan pokok yang murah, lapangan pekerjaan yang tersedia, pajak rendah, pemberantasan korupsi masif, serta birokrasi yang sederhana. Namun, ia menilai program kabinet Merah Putih hingga kini belum banyak dirasakan masyarakat.
“Meski Prabowo sempat mendapat pujian karena memberikan amnesti kepada tahanan politik, situasi ekonomi menurutnya masih “compang-camping” akibat lemahnya tim ekonomi pemerintah,” ungkapnya.
Ia mengingatkan bahwa krisis multidimensi yang terjadi saat ini merupakan “bom waktu” warisan 10 tahun pemerintahan Jokowi. “Prabowo bukan dipaksa bertanggung jawab oleh parlemen, tapi ia dipaksa menerima muntahan hasil pesta selama satu dekade. Jika ingin keluar dari zona ketidakpastian, Prabowo harus menyelamatkan ekonomi, moneter, dan menegakkan hukum secara nyata,” jelasnya.
Lebih jauh, Eko menyebut munculnya amuk massa di Pati, Jawa Tengah, sebagai embrio perlawanan kolektif rakyat. Ia menilai aparat tidak bisa terus-menerus mengandalkan pendekatan represif. “Hati rakyat sudah sakit dan teraniaya. Kalau pemerintah tetap menutup mata, amuk sosial akan menjalar menjadi perlawanan nasional,” kata Eko.
Menurutnya, Prabowo kini menghadapi dilema besar: memilih berpihak kepada rakyat atau terus melindungi kelompok Solo yang kini menjadi sorotan publik. “Kalau Presiden tidak segera melakukan langkah berani, termasuk merombak kabinet dan menyingkirkan pengaruh oligarki, maka rakyat akan bertindak dengan caranya sendiri. Momentum ini harus dimanfaatkan Prabowo untuk membuktikan ucapannya: tidak pandang bulu siapa saja bisa dicopot, bahkan dirinya sekalipun,” papar Eko. (AM)