Daily News | Jakarta – Anies Baswedan menyinggung tantangan berat yang kerap dihadapi pejabat publik saat menjalankan kebijakan. Menurutnya, meskipun telah berusaha mengambil keputusan yang benar, pejabat tetap berisiko diproses hukum karena sistem yang belum sempurna.
Hal tersebut disampaikan Anies dalam diskusi di Monash University, Australia. Ia mencontohkan kasus yang menimpa Tom Lembong maupun dirinya sendiri dalam penyelenggaraan Formula E. Menurutnya, situasi serupa dialami banyak tokoh lain.
“Persoalan ini bukan hanya soal individu, melainkan terkait perbaikan sistem hukum. Perlindungan bagi pejabat publik yang membuat kebijakan dengan niat baik dan pendekatan tepat sangat penting agar tata kelola pemerintahan bisa berjalan lebih baik,” jelas Anies.
Analisis Akademisi: Tiga Faktor Hukum yang Harus Berjalan Seimbang
Menanggapi hal itu, pengamat politik sekaligus Dekan Fisipol Universitas Widya Mataram Yogyakarta, Dr. As Martadani Noor, M.A., menilai pernyataan Anies menunjukkan adanya masalah dalam dinamika hukum di Indonesia.
Ia menjelaskan, dari pendekatan sosiologis, hukum memiliki tiga faktor yang harus berjalan beriringan. Pertama, aspek nilai sosial, yakni perasaan dan persepsi masyarakat tentang keadilan. “Misalnya, hukum adat dalam komunitas tertentu bisa melampaui hukum nasional, tetapi tetap berlaku karena diterima masyarakat. Hukum harus memberi rasa adil dan masuk akal (common sense),” jelasnya kepada KBA News, Selasa, 2 September 2025.
Kedua, perundang-undangan harus tegak. Namun, menurutnya, peraturan bisa menimbulkan ketidakadilan jika bertentangan dengan nilai sosial. “Sebagus apa pun KUHP, jika bertentangan dengan nilai masyarakat, maka muncul ketidakadilan,” ujarnya.
Martadani mengungkapkan, faktor ketiga, adalah kultural kognitif, yakni cara pandang dan keyakinan masyarakat tentang keadilan. Ia mencontohkan vonis yang dijatuhkan kepada Tom Lembong, yang oleh sebagian masyarakat dianggap tidak adil. “Nilai masyarakat, regulasi, dan kultural kognitif harus saling melengkapi. Jika salah satunya pincang, maka hukum kehilangan keseimbangannya,” ungkapnya.
Kegagalan interaksi hukum
Menurut Martadani, apa yang disampaikan Anies menunjukkan adanya kegagalan interaksi hukum di Indonesia. Regulasi ada, namun sering kali bertentangan dengan nilai masyarakat dan kultural kognitif. “Contohnya, masyarakat tidak bisa menerima vonis terhadap Tom Lembong. Untungnya Presiden merespons dengan abolisi. Kalau tidak, masyarakat akan terus menerus menganggap ada ketidakadilan,” tambahnya.
Alumnus S2 di India ini menilai, kondisi tersebut bukan peristiwa baru, melainkan sudah berulang kali terjadi. “Secara teoritis, ini menunjukkan ketidakseimbangan. Ada kekacauan hukum akibat kegagalan tiga aspek tersebut. Bila tidak saling mengoreksi, ketidakadilan seperti yang disampaikan Pak Anies akan terus terjadi,” pungkasnya. (AM)