Daily News | Jakarta – Kita semua ingin TNI yang kuat, profesional, dan fokus pada tugas utamanya, yaitu menjaga keamanan dan persatuan negara.
Begitulah Anies Baswedan menyoroti revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) dalam diskusi bertajuk Intelektual Muslim di Auditorium Prof. Abdul Kahar Mudzakir, Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Jumat, 21 Maret 2025. Dalam pemaparannya, ia menekankan pentingnya memastikan revisi ini benar-benar untuk perbaikan, bukan justru membuka tantangan baru bagi TNI.
Menurut Anies, revisi UU merupakan hal wajar jika sudah berjalan lebih dari dua dekade. Namun, revisi tersebut harus dipastikan bertujuan memperkuat TNI sebagai institusi pertahanan negara. “Kita semua ingin TNI yang kuat, profesional, dan fokus pada tugas utamanya, yaitu
Anies juga mengingatkan bahwa Yogyakarta memiliki peran penting dalam sejarah perjuangan TNI. Ia menyinggung bagaimana kota ini menjadi pusat gerilya yang melahirkan Tentara Keamanan Rakyat (TKR), Badan Keamanan Rakyat (BKR), hingga TNI. “Di sekitar Korem di Yogyakarta, ada tulisan ‘rute akhir perang gerilya Jenderal Soedirman’. Bahkan, nama-nama jalan di Kotabaru diambil dari nama anak-anak muda yang gugur dalam perjuangan untuk rakyat dan negara,” jelasnya.
Ia mengingatkan bahwa perubahan peran TNI melalui revisi UU ini harus dilakukan dengan hati-hati. “Jangan sampai revisi ini justru membebani institusi pertahanan dengan tugas-tugas baru yang dapat mengalihkan fokusnya dari pertahanan negara,” tegasnya.
Kritik terhadap proses revisi UU TNI
Salah satu hal yang menjadi perhatian Anies adalah prosedur pembahasan revisi UU TNI yang dianggapnya berlangsung terlalu cepat tanpa keterlibatan publik yang memadai. “Setahu saya, hingga saat ini draft finalnya belum bisa diakses secara resmi. Tidak banyak forum yang membahas arah perubahan ini,” katanya.
Anies menekankan bahwa kebijakan yang lahir dari dialog terbuka cenderung lebih matang. Ia mencontohkan kebijakan yang diputuskan secara terburu-buru seperti Undang-Undang Omnibus Law dan proyek Ibu Kota Negara (IKN), yang menuai banyak kontroversi setelah diundangkan. “Jangan sampai revisi UU TNI diputuskan dulu baru diperdebatkan, seharusnya didiskusikan secara luas terlebih dahulu,” tambahnya.
Meritokrasi dan kesejahteraan prajurit
Dalam revisi UU TNI, Anies juga menyoroti pentingnya meritokrasi dalam sistem promosi dan jenjang karier prajurit. “Seseorang diangkat sebagai jenderal atau panglima bukan karena koneksi, relasi, atau hubungan keluarga, melainkan berdasarkan prestasi. Ini yang harus dijamin dalam revisi UU ini,” tegasnya.
Selain itu, ia juga menekankan pentingnya memperhatikan kesejahteraan prajurit dalam revisi UU ini. “TNI adalah milik rakyat, maka revisinya harus dibahas secara terbuka, di warung kopi, seminar, dan diskusi publik, bukan di ruang tertutup,” ujarnya yang disambut tepuk tangan peserta diskusi.
Menutup pemaparannya, Anies mengingatkan pesan Bung Karno bahwa ‘angkatan bersenjata harus menjaga netralitas dalam politik’. Ia juga mengutip Jenderal Soedirman yang menekankan ‘pentingnya kepatuhan kepada pemerintahan yang sah serta profesionalitas sebagai garda pertahanan negara.’
“Revisi UU TNI bukan sekadar kebijakan hukum, tetapi juga ikhtiar membangun negara yang kuat, stabil, dan tetap berpegang pada prinsip demokrasi. Kita harus membuka ruang partisipasi publik agar kebijakan ini benar-benar membawa kebaikan bagi TNI, negara, dan rakyat,” pungkasnya. (AM)
Discussion about this post