Daily News | Jakarta – Aroma tak sedap tercium dari proses hukum para tersangka kasus ijazah Jokowi. Satu demi satu kejanggalan bermunculan.
Gelar perkara khusus (GPK) yang mempertemukan penyidik, pelapor, dan terlapor dalam kasus dugaan ijazah palsu Jokowi di Polda Metro Jaya pada awal pekan ini berakhir dengan sejumlah catatan kritis.
Tim kuasa hukum Klaster II (BALARRT) menyoroti adanya “lompatan” pasal yang tidak lazim serta temuan fisik barang bukti yang justru memperkuat keraguan mereka.
Ketua tim hukum Klaster II, Refly Harun, mengungkapkan keterkejutannya atas penerapan Pasal 32 dan Pasal 35 UU ITE terhadap Roy Suryo, Rismon Sianipar, dan dokter Tifa. Pasal-pasal tersebut membawa ancaman hukuman maksimal yang sangat berat, yakni 12 tahun penjara.
Refly menilai ada anomali dalam konstruksi hukum ini. Menurutnya, laporan awal umumnya berkisar pada isu penghinaan atau pencemaran nama baik (Pasal 310 dan 311 KUHP). Namun, ia menyebut penyidik melakukan “lompatan” langsung ke pasal berat ITE yang justru merupakan permintaan langsung dari pihak pelapor yakni Jokowi
“Selama proses diskusi, kami tidak melihat ada sesuatu yang pantas dikenakan kepada mereka bertiga, terutama Pasal 32 dan 35. Dari uraian pihak lawan, awalnya soal pengaduan penghinaan, tapi tiba-tiba jumping up ke pasal dengan ancaman 12 tahun. Ternyata, pasal itu dimintakan oleh Pak Jokowi sendiri,” ujar Refly Harun dalam jumpa pers awal pekan ini yang dihadiri KBA News.
Meski dalam gelar perkara tersebut penyidik akhirnya menunjukkan barang bukti yang diklaim sebagai ijazah analog asli milik Jokowi, hal itu tidak mengubah keyakinan para terlapor.
Roy Suryo, yang hadir bersama ahli teknologi forensik Prof Tono Saksono dan Dr Ridho Rahmadi, menyatakan bahwa hasil analisis mereka tetap pada kesimpulan semula bahwa 99,9% ijazah tersebut bermasalah.
Sebagai praktisi fotografi yang berpengalaman sejak era analog dan “kamar gelap”, Roy Suryo membedah kejanggalan pada pas foto dan kualitas cetakan ijazah yang diperlihatkan penyidik. Menurutnya, fisik barang tersebut terlalu “sempurna” untuk dokumen yang diklaim berusia lebih dari 40 tahun.
“Foto itu terlalu tajam, terlalu baru untuk sebuah foto yang dicetak dengan kertas foto tahun 80-an. Kertas foto ada usianya,” tegas Roy. Ia membandingkan dengan dokumen pribadinya yang berusia 20 tahun namun sudah mulai buram, sementara ijazah yang ditunjukkan penyidik masih sangat tegas dan jelas.
Akses terbatas dan kejanggalan logo
Argumentasi tim Klaster II semakin tajam saat memaparkan detail teknis yang mereka temukan selama sesi pengamatan singkat. Roy menyoroti adanya goresan garis di sebelah kiri dokumen yang dianggap tidak lazim bagi sebuah ijazah asli, melainkan lebih mirip hasil re-printing atau proses pencetakan baru.
Selain itu, Roy mengkritisi warna logo Universitas Gadjah Mada (UGM) pada dokumen tersebut. “Warna logo UGM yang asli itu emas, dan jika sudah puluhan tahun, tintanya seharusnya ‘bleber’ atau mengembang. Ini tidak ada sama sekali, sangat clear, seperti diprint dengan kualitas tinta baru,” tambahnya.
Kekecewaan juga muncul karena tim terlapor hanya diperbolehkan mengintip tanpa diberikan akses untuk memegang atau merasakan tekstur serta ketebalan kertas dokumen tersebut. Pembatasan ini dianggap menghalangi upaya pembuktian material yang lebih mendalam dalam forum gelar perkara tersebut.
Menutup pernyataannya, Roy Suryo menegaskan bahwa tidak ada satu milimeter pun keraguan yang bergeser dari pihak mereka setelah melihat barang bukti tersebut. Gelar perkara khusus ini bagi mereka justru meninggalkan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban mengenai keabsahan dokumen yang selama ini menjadi polemik publik.
Hilangnya persamaan hukum
Gelar perkara khusus yang digelar Polda Metro Jaya pada awal pekan ini dalam perkara dugaan pencemaran nama baik terkait tuduhan ijazah palsu Jokowi menjadi titik krusial bagi legitimasi proses hukum yang sedang berjalan.
Bagi tim kuasa hukum para tersangka, forum ini bukan sekadar agenda prosedural, melainkan ujian serius terhadap prinsip due process of law.
Polda Metro Jaya telah menetapkan delapan orang sebagai tersangka dalam perkara ini, yakni Eggi Sudjana, Kurnia Tri Rohyani, Damai Hari Lubis, Rustam Effendi, dan Muhammad Rizal Fadillah, Roy Suryo, Rismon Hasiholan Sianipar, dan Tifauzia Tyassuma.
Mereka dibagi ke dalam dua klaster. Klaster pertama mencakup Eggi Sudjana, Kurnia Tri Rohyani, Damai Hari Lubis, Rustam Effendi, dan Muhammad Rizal Fadillah, sementara klaster kedua mencakup Roy Suryo, Rismon Sianipar, dan Tifauzia Tyassuma.
Tim kuasa hukum klaster pertama yang dipimpin Ahmad Khozinudin bersama Petrus Selestinus, Abdul Ghofur, serta sejumlah advokat lain, menegaskan bahwa gelar perkara ini diajukan justru karena terdapat dugaan cacat mendasar dalam penyidikan.
“Tidak mungkin seseorang ditetapkan sebagai tersangka pencemaran nama baik sebelum objek yang dipersoalkan—ijazah yang disebut asli—ditunjukkan secara terbuka,” kata Ahmad Khozinudin kepada wartawan sebelum memasuki Gedung Reskrimum Polda Metro Jaya yang dihadiri oleh KBA News.
Menurutnya, penyidik semestinya membuka akses terhadap barang bukti utama yang disebut telah disita, agar para tersangka mengetahui secara pasti dasar penetapan status hukum mereka.
Ia juga menyoroti adanya anomali prosedural, termasuk fakta bahwa setidaknya satu tersangka ditetapkan tanpa pernah diperiksa sebelumnya, padahal putusan Mahkamah Konstitusi mewajibkan pemeriksaan calon tersangka sebelum penetapan status hukum.
Petrus Selestinus menambahkan bahwa gelar perkara khusus seharusnya menjadi momentum untuk membuka ruang konfrontasi antara para tersangka dan Jokowi sebagai saksi pelapor.
“Perpol tentang gelar perkara memungkinkan pemeriksaan konfrontatif. Publik berhak tahu, dan proses hukum harus memberi ruang terang, bukan semakin gelap,” ujarnya.
Sementara itu, Abdul Ghofur menekankan pentingnya kejelasan status barang bukti pembanding yang digunakan dalam uji laboratorium forensik. Ia mempertanyakan apakah ijazah pembanding tersebut benar-benar disita secara sah dan telah dinyatakan otentik oleh Universitas Gadjah Mada sebagai institusi penerbit.
“Tanpa keabsahan dokumen pembanding, kebenaran material hasil forensik patut dipertanyakan,” ujarnya.
Bagi tim kuasa hukum, perkara ini telah melampaui sengketa individu dan berubah menjadi persoalan kepercayaan publik terhadap penegakan hukum. Gelar perkara khusus, mereka tekankan, harus menjawab substansi persoalan ijazah yang telah lama memicu kegaduhan nasional.
Jika tidak, cacat prosedur yang dibiarkan berlarut berpotensi menggugurkan seluruh bangunan penyidikan dan semakin memperdalam krisis kepercayaan terhadap institusi penegak hukum. (AM)




























