Daily News | Jakarta – Badai kritik bermunculan seiring memburuknya kondisi ribuan warga korban banjir dan tanah longsor di tiga provinsi Sumatera. Video warga kelaparan, posko kehabisan logistik, serta evakuasi yang berlarut-larut memicu pertanyaan publik: di mana peran negara ketika rakyat berada di titik paling genting?
Di tengah penderitaan warga, pemerintah dinilai bergerak lamban, tak terkoordinasi, dan tak menunjukkan kesiapan menghadapi bencana besar.
Kritik keras dialamatkan kepada pemerintah pusat atas lambannya penanganan banjir besar dan tanah longsor di Sumatera. Direktur Lembaga Lingkungan Hidup dan Kebudayaan Yogyakarta, Eko S Dananjaya, menyebut pemerintah terlihat tidak siap menghadapi bencana berskala besar ini.
Menurutnya, keterlambatan ini memperparah situasi, memaksa warga bertahan dengan makanan seadanya dalam kondisi serba terbatas. “Pemerintah seolah terkejut. Tanggap darurat stagnan di tingkat pusat. Masyarakat telantar hingga mengalami kelaparan karena bantuan datang terlambat,” ujar Eko saat dihubungi KBA News, Senin, 8 Desember 2025.
Eko menegaskan bahwa banjir Sumatera merupakan akumulasi kerusakan lingkungan akibat aktivitas manusia. Ia menyebut kerusakan ekologis yang menyebabkan banjir harus dipandang sebagai pelanggaran HAM berat dan perlu diproses hukum. “Pembabatan hutan, penebangan tanpa batas, dan penambangan yang dilegalkan pemerintah adalah pemicu utama bencana,” tegasnya.
Konsep Siaga – Tanggap – Galang
Dia mengatakan, pendekatan penanganan bencana dengan mengadopsi metode penanggulangan banjir yang pernah dilakukan Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, pada 2020. Eko meyakini bahwa banjir besar di Sumatera dapat ditangani lebih efektif jika pemerintah mengutamakan koordinasi, respons cepat, dan mobilisasi sumber daya secara serentak.
Eko mengatakan model penanganan yang diterapkan Anies sederhana namun efektif: Siaga, Tanggap, Galang. Pada 2020, setidaknya dalam menit pertama banjir melanda Jakarta, Anies langsung menginstruksikan penerapan tiga pedoman itu di seluruh jajaran Pemprov DKI. Setiap unit bergerak dalam satu komando dan satu tujuan yang terukur.
“Penanganan banjir baru selesai ketika seluruh genangan hilang, fasilitas umum pulih, warga terpenuhi kebutuhannya, dan kehidupan kembali normal,” kutip Eko.
Instruksi itu mencakup:
– Pemenuhan kebutuhan dasar warga (makanan, air, obat, alas tidur)
– Dapur umum dan posko kemanusiaan kolaboratif
– Keterlibatan lurah & camat untuk turun langsung mendatangi warga
– Pencatatan & tindak lanjut cepat setiap temuan
– Mobilisasi organisasi kemanusiaan dan relawan lintas sektor
Menurut Eko, kunci keberhasilan Jakarta adalah kolaborasi dan eksekusi, bukan pencitraan.
Krisis manajemen dan pencitraan
Eko juga menyinggung bahwa penanganan pemerintah pusat terkesan penuh pencitraan. “Para menteri hadir hanya untuk difoto memanggul karung beras. Itu bukan solusi. Rakyat membutuhkan tindakan, bukan kamera,” kritiknya.
BNPB dan Basarnas dianggap tidak sigap, sementara TNI dan Polri dinilai menjadi pihak yang bergerak paling cepat. Kendala pendanaan daerah akibat pemotongan dana pusat disebut semakin menghambat penanggulangan.
Eko menilai pemerintah pusat menghindar untuk menetapkan status Bencana Nasional karena akan berdampak pada sektor bisnis pembalakan hutan. “Ada kepentingan besar yang dilindungi. Rakyat jadi korban dari kolusi penguasa dan pengusaha,” pungkasnya. (DJP)



























