Daily News | Jakarta – Seperti kata meme ironis yang beredar viral di media sosial: Nasib rakyat Indonesia: dipajakin Sri Mulyani, dijogetin Eko Kuya, ditololin Syahroni, dilindas polisi. Rakyat itulah yang sekarang sedang bergerak melawan politik elite untuk mengubah nasibnya yang makin sulit.
Begitulah, jurnalis senior dan mantan Ketua Aliansi Jurnalis Independen, Lukas Luwarso, mengatakan setiap kali demonstrasi masif terjadi, selalu muncul analisis “pakar intelijen” yang serta-merta menyebut “ada yang menunggangi”. Dan tuduhan serampangan serta produk letih pikiran otoriter, itu selalu ditujukan pada pihak asing atau sosok elite politik tertentu.
“Unjuk rasa 28 Agustus kemarin itu jelas merupakan kemuakan kumulatif rakyat pada perilaku elite politik di DPR, kepolisian, dan pemerintahan, juga dituding ditunggangi. Menisbikan bahwa kesusahan hidup, putusnya harapan rakyat, adalah daya penggerak utama. Dan kemarahan kolektif pada perilaku koruptif-manipulatif-hedonis elite politik, adalah energi untuk demonstrasi,’’ kata Lukas kepada KBA News, Sabtu pagi, 30 Agustus 2025.
Jadi siapa yang menunggangi demonstrasi aspirasi rakyat? Mereka adalah kaum senang, elite politik yang berbagi rangkap jabatan, menaikkan penghasilan dan tunjangan diri, anggota DPR yang berjoget riang saat sidang, Geng Solo yang ingin terus berkuasa, ‘polisi cum Parcok’ yang menjadi centeng bisnis kekuasaan. Mereka yang merepresi dan melindas hidup rakyat menjadi semakin sulit.
“Seperti kata meme ironis yang beredar viral di media sosial: Nasib rakyat Indonesia: dipajakin Sri Mulyani, dijogetin Eko Kuya, ditololin Syahroni, dilindas polisi. Rakyat itulah yang sekarang sedang bergerak melawan politik elite untuk mengubah nasibnya yang makin sulit, ‘’ tegasnya.
Sebenarnya terjadinya aksi kemarahan rakyat tersebut telah terindikasi cukup lama. Ini karena beberapa hari sebelumnya, yakni pada 13 Agustus, publik dikagetkan dengan demonstrasi warga Pati menentang arogansi Bupati. Rakyat Pati menolak kenaikan pajak 250 persen yang akan semakin mencekik hidupnya yang sudah susah.
Setelah itu, muncul peristiwa obral tunjangan dan fasilitas untuk menyenangkan anggota DPR dan para pejabat. Ini sangat kontras dengan susahnya situasi keuangan negara yang defisit, tidak mampu menggaji guru yang cuma ratusan ribu. “Kemudian muncul pula info menggelikan, Danantara akan mengirim ratusan direksi BUMN untuk mengikuti kemah pelatihan di Swiss yang berbiaya mahal, agar direksi yang tidak kompeten bisa liburan dibayari negara. Ini soal kesenjangan kehidupan antara kaum elite dan kaum sulit.”
Kontras hidup susah rakyat dengan hidup senang para “wakil rakyat” dan pejabat itu kini mengingatkan situasi menjelang revolusi Perancis (1789), Russia (1917), Sri Lanka (2022) dan Bangladesh (2024). Juga situasi Indonesia saat gerakan reformasi 1989.
“Momentum sejarah ini terjadi akibat situasi kontras susah vs senang sesama-bangsa -beda-nasib, kaum elite vs kaum sulit, sedang menggumpal di Indonesia. Jika elite kekuasaan lupa diri asyik dengan kesenangannya, tidak punya sensitivitas untuk merasakan kesusahan rakyat kebanyakan, maka cuma soal waktu dan butuh pemicu. Kesenangan mereka akan menjadi kesusahan kolektif,’’ tandas Lukas Luwarso. (DJP)