Daily News | Jakarta – Di Kabinet Merah Putih, tidak satu pun dari 48 menteri, lima pejabat setingkat menteri, dan 56 wakil menteri berasal dari penduduk asli Dayak,
Karena itu, seorang tokoh, cendekiawan dan politikus Dayak menyatakan menarik dukungan atas keberadaan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara di Pulau Kalimantan.
“Ini karena ketidakadilan politik kembali terjadi di pemerintahan Presiden Prabowo Subianto,” tegas Ajonedi Minton SH, MKn, kader Partai Gerindra Provinsi Kalimantan Barat (Kalbar) di Pontianak, Ibu Kota Kalbar.
Dihubungi KBA News, Kamis, 24 Oktober 2024, Minton mencontohkan ketidakadilan tersebut. “Di Kabinet Merah Putih, tidak satu pun dari 48 menteri, lima pejabat setingkat menteri, dan 56 wakil menteri dari penduduk asli Dayak,” lanjutnya.
Menurut Kepala Divisi Ekonomi Kerakyatan Dayak International Organization (DIO) ini, protes pihaknya tersebut langsung ditujukan kepada Presiden Prabowo Subianto, Ketua Umum Partai Gerindra yang telah membentuk Kabinet Merah Putih.
Minton menegaskan setidaknya harus ada keterwakilan putera-puteri terbaik orang Dayak asli yang dipercayakan menjadi Duta Besar negara sahabat.
“Juga, tidak ada keterwakilan penduduk asli suku Dayak sebagai Komisaris Badan Usaha Milik Negara atau BUMN,” tambahnya.
Bahkan, lanjut Minton, sejak awal mulai IKN Nusantara dirancang, tidak ada keterwakilan putera-puteri terbaik suku asli Dayak, misalnya, sebagai deputi, Kepala Badan Otorita, atau Wakil Kepala Badan Otorita IKN.
“Maka atas nama bangsa Dayak, kami mengajak semua tetua adat Dayak, tokoh-tokoh adat Dayak dari seluruh organisasi Dayak yang ada di Indonesia, Malaysia dam Brunei Darussalam untuk secara merata dan serempak menyatakan menolak IKN Nusantara,” tegasnya.
Padahal, organisasi kemasyarakatan suku Dayak se-Kalimantan di Rumah Betang, Kota Pontianak, Senin, 28 Februari 2022, mendeklarasikan dukungan pada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang IKN Nusantara di Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara, Provinsi Kalimantan Timur.
Kegiatan yang juga mengeluarkan sembilan petisi yang ditandatangani oleh 40 tokoh adat Dayak ini, antara lain, mendukung IKN Nusantara. Syaratnya, putera-puteri terbaik Dayak dilibatkan di pemerintahan badan otorita tersebut.
Ketika itu Dr Yulius Yohanes, cendekiawan Dayak yang juga tokoh DIO dan dosen di Universitas Negeri Tanjung Pura, menyatakan aspirasi masyarakat Dayak tersebut jangan sampai diremehkan oleh pemerintah pusat.
Selama ini masyarakat Dayak hanya menjadi tamu di negeri sendiri. Bahkan sempat terjadi pelecehan atas marwah Dayak. Ini berdampak pada terjadinya konflik berdarah antara masyarakat Dayak dengan suku pendatang tertentu di Kalbar dan Kalteng. “Jangan sampai terulang lagi,” imbaunya.
Terkait dengan hal ini, Minton, pemandu acara pada deklarasi tersebut menegaskan, masyarakat Dayak harus sepakat menolak IKN Nusantara.
“Kita harus mendeklarasikan ini dalam kongres besar bangsa Dayak sebagaimana semangat persatuan Tumbang Anoi Tahun 1894. Sebab, sejak negara Indonesia merdeka, kepentingan orang Dayak tidak pernah diakomodir pemerintah,” lanjut Minton.
Sementara itu, Wandy Tuturoong, Pelaksana Tugas (Plt) Deputi IV Kantor Staf Presiden (KSP) era Presiden Joko Widodo yang pernah dihubungi terpisah dari Pontianak menyatakan pemerintah pusat tetap mengakomodir semua aspirasi masyarakat Dayak terkait IKN Nusantara.
Menurut mantan wartawan harian Sinar Pagi dan mantan aktivis ini, keberadaan IKN Nusantara ditindaklanjuti oleh pemerintah pusat dengan memberikan berbagai akses positif kepada warga setempat termasuk dari Suku Dayak.
Akses-akses ini, antara lain, memberikan beasiswa kepada generasi muda terbaik Dayak untuk bersekolah atau melanjutkan pendidikan di bangku perguruan tinggi.
Terkait dengan itu, Presiden DIO Datuk Jeffrey Kitingan yang juga Wakil Ketua II Menteri Sabah II, Malaysia, menyatakan pembangunan infrastruktur pemerintah Indonesia sekaliber IKN Nusantara di Kalimantan harus memperhatikan aspirasi orang Dayak.
Karena Kalimantan atau Borneo secara adat adalah Bumi Dayak atau tanah adat Dayak yang juga diakui oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sesuai hukum adat internasional.
“Harus memperhatikan kepentingan penduduk asli Borneo,” tegasnya lewat sambungan Zoom terkait launching portal berita DIO TV di Kota Pontianak pada 2022.
Adapun terkait Pertemuan Tumbang Anoi 1894, dilansir dari situs Kalimantan Review, antara lain dinilai sebagai “fajar peradaban”. Istilah ini pertama kali digunakan oleh seorang wartawan Belanda yang sangat tidak suka dengan suku Dayak.
Bagi orang Dayak sendiri, pertemuan adat tersebut menandai berakhirnya hukum rimba di Kalimantan. Alasan utamanya, Pertemuan Tumbang Anoi 1894 yang dihadiri oleh pemuka-pemuka adat dan masyarakat Dayak seluruh Pulau Borneo, telah berhasil “menghentikan kebiasaan perang antarsuku dan antardesa”.
Selain itu, pertemuan ini juga menandai berhentinya kebiasaan balas dendam antarkeluarga dan kebiasaan adat mengayau (potong kepala). Kebiasaan-kebiasaan tersebut dipandang sebagai tindakan tidak beradab yang masih primitif.
Salah satu hasil dari Napak Tilas Rapat Tumbang Anoi 1894 yang digelar di Kabupaten Gunung Mas, Provinsi Kalimantan Tengah, Sabtu, 4 Oktober 2014, antara lain, terbitnya dokumen Perjanjian Antargenerasi.
Cendekiawan Dayak Dr Siun Jarias SH, MH antara lain mengatakan Perjanjian Antargenerasi ini dibuat untuk memberitahukan kepada seluruh generasi Dayak bahwa suku Dayak telah melakukan sesuatu untuk kepentingan suku Dayak yang bermartabat.
Perjanjian Antargenerasi tersebut berisi, pertama, “kami masyarakat adat Dayak Kalimantan berjanji untuk menghargai satu sama lain dalam hal keyakinan dan atau agama yang dianut masing-masing”.
Selanjutnya, perbedaan agama tidak boleh memecah-belah, dan tidak boleh karena memeluk suatu agama berakibat bukan lagi sebagai suku Dayak, sebab suku Dayak bukanlah agama.
Kedua, “kami masyarakat adat Dayak Kalimantan berjanji untuk menjaga nilai-nilai keadilan, keberadaban, kemanusiaan, harkat dan martabat suku Dayak di tengah-tengah pergaulan antaranak bangsa Indonesia, bahkan di tengah-tengah pergaulan internasional”.
Ketiga, “kami masyarakat adat Dayak Kalimantan berjanji untuk memperoleh posisi bukan sebagai penonton tetapi berperan aktif dalam struktur pemerintah demi membangun NKRI di tingkat nasional dan menjadi pemain utama dalam struktur pemerintahan daerah di tanah Dayak Kalimantan”.
Keempat, “kami masyarakat adat Dayak Kalimantan berjanji untuk memperoleh posisi dalam kancah politik nasional dan memperoleh posisi utama dan aktif dalam kancah politik daerah di tanah Dayak Kalimantan”.
Kelima, “kami masyarakat adat Dayak Kalimantan sebagai bagian Bhinneka Tunggal Ika, ahli waris sumber daya alam, warisan leluhur di Kalimantan berjanji unuk memperoleh keadilan dalam hal menguasai wilayah, melestarikan hutan, dan menikmati hasil sumber daya alam yang berlimpah demi mewujudkan kesejahteraan, harkat dan martabat dalam tingkat NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945”.
Perjanjian ini ditandatangani di Tumbang Anoi pada 4 Oktober 2014 oleh wakil tiga generasi, dan diketahui oleh Presiden MADN Agustin Teras Narang. (HMP)