Daily News | Jakarta – Besar kecilnya gaji pejabat tidak akan dipersoalkan masyarakat jika diimbangi dengan kinerja yang nyata dan berpihak pada rakyat
Maka, gelombang kekecewaan publik terhadap DPR RI yang menimbulkan unjuk rasa besar-besaran hingga menelan korban jiwa bukan tanpa sebab dan muncul tiba-tiba.
Mantan Ketua BEM Universitas Padjadjaran (Unpad), Virdian Aurellio, kemarahan masyarakat akibat akumulasi dari sikap elite politik yang semakin jauh dari realitas rakyat.
“Karena publik marah, pejabatnya tone deaf terhadap kondisi masyarakat dan kritik masyarakat selalu dianggap sepele,” ucap Virdian dikutip KBA News dari laman X pribadinya @virdianaurellio, Minggu, 31 Agustus 2025.
Menurut Virdian, kritik keras ini mencerminkan adanya jurang besar antara rakyat dan para wakilnya di Senayan.
Alih-alih memperjuangkan kepentingan masyarakat, DPR justru sering dianggap lebih sibuk mengurus kepentingan politik praktis serta mengesahkan kebijakan yang berseberangan dengan suara publik.
Virdian juga menyoroti persoalan kesejahteraan dan transparansi. Baginya, besar kecilnya gaji pejabat tidak akan dipersoalkan masyarakat jika diimbangi dengan kinerja yang nyata dan berpihak pada rakyat.
Namun faktanya, undang-undang yang pro rakyat sering kali ditunda, sementara kebijakan yang ditolak publik justru dikebut untuk disahkan.
“Gaji gede kalau perform sebagai pejabat publik dan transparan sih ngga ada soal. Ini Undang-Undang pro rakyat ditunda, yang dilawan rakyat justru disahkan,” katanya.
Fenomena tersebut semakin mempertegas pandangan publik terhadap kegagalan DPR dalam menjalankan fungsinya sebagai lembaga legislatif.
Hasilnya, kepercayaan publik terhadap lembaga tersebut kian merosot dan berkurang karena gaya komunikasi pejabat yang kerap mengabaikan kritik.
Tak sampai di situ, Virdian juga menyoroti lembaga eksekutif yang dinilai sama bermasalah.
Ia menegaskan bahwa rakyat terus dibebani pajak, sementara kebutuhan dasar seperti kesejahteraan guru justru dianggap sebagai beban negara. Ironisnya, anggaran negara justru habis untuk hal-hal yang tidak prioritas.
“Eksekutifnya juga sama. Rakyat dicekik pajak sana sini, gaji guru dianggap beban, tapi APBN boros untuk kabinet gemuk, komisaris maupun program-program yang ga prioritas,” ungkapnya.
Ia menilai, pemerintah abai terhadap penguatan sektor pendidikan dan kesejahteraan masyarakat dan justru larut dalam pemborosan politik yang berjarak dari kebutuhan rakyat.
Menurutnya, pembenahan internal menjadi landasan utama agar Indonesia maju bisa terealisasikan di 2045.
“Karena kalau kita betul-betul ingin Indonesia maju dan sejahtera, perbaikannya dimulai dari internal kekuasaan itu sendiri,” tegasnya. (DJP)