Daily News | Jakarta – Uji publik dan diskusi terbuka, yang dimana pemerintah harus selenggarakan forum publik, seminar, dan lokakarya di seluruh Indonesia untuk mempresentasikan draf awal penulisan ulang dan mendapatkan masukan dari masyarakat luas. #kbanews
Begitulah, sosiolog dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Syaifudin meminta kepada Pemerintah Presiden Prabowo Subianto, agar penulisan ulang sejarah Indonesia dilakukan secara objektif dan akuntabel.
Menurutnya, penulisan ulang sejarah Indonesia secara objektif dan akuntabel itu agar tidak menimbulkan kontroversi panjang di masyarakat Tanah Air dikemudian hari.
Ia pun memberikan masukan kepada pemerintah agar hal tersebut bisa dilakukan. Pertama, transparansi dan akuntabilitas, yang dimana pemerintah harus secara jelas mengumumkan mengapa penulisan ulang diperlukan, apa tujuan utamanya, dan metodologi ilmiah apa yang akan digunakan.
“Kemudian pastikan akses terbuka terhadap dokumen, arsip, dan data historis yang menjadi dasar penulisan ulang, dan libatkan lembaga audit independen, misalnya, dari universitas atau lembaga penelitian non-pemerintah, untuk meninjau proses dan hasil penulisan ulang,” katanya kepada KBA News, Jumat, 13 Juni 2025.
Kedua, melibatkan sejarawan, akademisi, dan ahli multidisiplin ilmu secara independen, yang dimana pemerintah dapat membentuk komite penulisan ulang yang terdiri dari sejarawan terkemuka, arkeolog, antropolog, sosiolog, dan ahli budaya dari berbagai latar belakang, yang tidak terikat pada kepentingan politik.
“Pastikan komite ini memiliki kebebasan akademik penuh untuk meneliti, menganalisis, dan menulis tanpa intervensi politik. Ajak sejarawan dengan berbagai spesialisasi dan perspektif, termasuk mereka yang mungkin memiliki pandangan berbeda tentang peristiwa sejarah tertentu,” jelasnya.
Ketiga, pendekatan multiperspektif dan inklusif, yang maksudnya bahwa sejarah harus mencerminkan berbagai perspektif, termasuk dari kelompok minoritas, masyarakat adat, perempuan, dan kelompok-kelompok yang suaranya mungkin terpinggirkan dalam narasi sejarah sebelumnya.
“Akui bahwa sejarah tidak tunggal dan ada berbagai interpretasi yang valid berdasarkan bukti dan sudut pandang yang berbeda. Bahan ajar harus mampu menstimulasi diskusi kritis, bukan dogmatis. Pastikan setiap perubahan didasarkan pada riset yang komprehensif, penggunaan sumber primer dan sekunder yang luas, serta analisis kritis terhadap bukti-bukti,” katanya.
Keempat, uji publik dan diskusi terbuka, yang dimana pemerintah harus selenggarakan forum publik, seminar, dan lokakarya di seluruh Indonesia untuk mempresentasikan draf awal penulisan ulang dan mendapatkan masukan dari masyarakat luas.
“Sediakan mekanisme umpan balik yang mudah diakses bagi masyarakat untuk memberikan komentar, kritik, dan saran, serta lakukan dialog intensif dengan komunitas-komunitas yang memiliki sejarah lisan atau lokal yang kaya, untuk memastikan narasi mereka terwakili,” tambahnya.
Kelima, pengembangan bahan ajar di lembaga-lembaga pendidikan yang kritis dan berbasis sumber, dalam hal ini bahan ajar tidak boleh disajikan sebagai satu-satunya kebenaran, melainkan sebagai interpretasi yang didukung bukti, dan mendorong siswa untuk berpikir kritis.
“Libatkan kutipan dari sumber-sumber primer dan sekunder dalam bahan ajar agar siswa dapat menganalisis dan menarik kesimpulan sendiri. Kemudian sediakan pelatihan komprehensif bagi guru dan dosen tentang bagaimana mengajar sejarah yang direvisi dengan cara yang kritis, seimbang, dan mendorong diskusi,” katanya.
Syaifudin mengatakan, dengan menerapkan kelima langkah-langkah ini, program penulisan ulang sejarah dapat menjadi kesempatan untuk memperkaya pemahaman bangsa Indonesia tentang masa lalunya secara lebih objektif, inklusif, dan relevan bagi generasi mendatang.
“Tanpa itu, risiko manipulasi sejarah dan dampaknya yang negatif terhadap identitas dan kohesi sosial akan sangat tinggi,” ujarnya. (EJP)