Daily News | Jakarta – Anies perlu menghindari skenario di mana pihak-pihak tertentu, seperti Mulyono, kembali melakukan intervensi atau cawe-cawe dalam urusan politik. Itu yang menjadi kekhawatiran para pendukung Anies sekarang.
Wacana Anies Baswedan perihal pembentukan wadah baru untuk menjaga semangat perubahan terus memantik perhatian publik. Mantan Gubernur DKI Jakarta ini belum memastikan apakah wadah tersebut akan berbentuk organisasi masyarakat (ormas) atau partai politik.
Menurut Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, Prof. Dr. Muhammad Chirzin, wacana ini tidak hanya menjadi isu di ruang publik, tetapi juga di kalangan akademisi. “Langkah yang diambil Anies akan berdampak besar pada masa depan gerakan perubahan yang ia gaungkan,” ujarnya dalam wawancara dengan KBA News, Minggu, 6 Oktober 2024.
Menurutnya, keputusan untuk mendirikan partai politik tidak bisa diambil secara tergesa-gesa. Ada banyak faktor yang harus diperhatikan, terutama dinamika politik menjelang dan setelah transisi pemerintahan pada 20 Oktober 2024, di mana Joko Widodo lengser dan digantikan oleh Prabowo Subianto.
Prof. Chirzin juga menyampaikan bahwa mendirikan partai sebelum pergantian rezim akan menghadapi risiko tertentu. “Jika mendirikan partai sebelum 20 Oktober, kemungkinan besar Anies akan berhadapan dengan tekanan dari pemerintah yang masih berkuasa,” jelasnya.
“Namun, setelah pergantian kepemimpinan, dinamika akan berubah, dan tekanan mungkin berkurang, tergantung bagaimana rezim baru di bawah Prabowo merespons langkah tersebut,” imbuhnya.
Lebih lanjut, ia menekankan bahwa Prabowo Subianto sebagai pemimpin baru harus berhati-hati dalam menyikapi tuntutan dan suara rakyat. “Prabowo perlu menunjukkan sikap yang berbeda dari Jokowi, yang sudah habis masa kepemimpinannya,” tambah Prof. Chirzin.
Ia mengingatkan agar Prabowo tidak mengikuti kebijakan atau langkah Jokowi yang bisa berakibat pada penurunan popularitas dan legitimasi di mata publik, termasuk dalam hal merespons dinamika partai politik serta relasi dengan kelompok oposisi.
Menurutnya, pengamat politik Rocky Gerung menyarankan agar Anies menunggu hingga 20 Oktober 2024 sebelum mendeklarasikan partai baru. “Ini belum waktunya. Anies perlu menghindari skenario di mana pihak-pihak tertentu, seperti Mulyono, kembali melakukan intervensi atau cawe-cawe dalam urusan politik,” ungkap Prof. Chirzin.
Keputusan untuk mendirikan partai politik setelah pergantian rezim akan memberi Anies lebih banyak ruang gerak, baik dalam hal strategi politik maupun membangun aliansi yang lebih kuat tanpa campur tangan dari penguasa yang baru.
Namun, tantangan tetap ada. Jika Anies memilih untuk mendirikan partai politik setelah 20 Oktober 2024, publik akan melihat bagaimana respons dari rezim baru. Apakah rezim baru akan memberikan dukungan atau justru menghadirkan tekanan?
“Mendirikan partai politik bukan sekadar keputusan strategis, tetapi juga pertarungan dalam membaca kekuatan dan kelemahan penguasa baru,” ujar Prof. Chirzin.
Jika Prabowo mengikuti jejak Jokowi yang sering kali terlihat kurang terbuka terhadap oposisi, maka Anies bisa menghadapi rintangan yang sama. “Namun, jika Prabowo lebih fleksibel dan membuka ruang dialog, gerakan Anies mungkin akan mendapatkan tempat di panggung politik nasional,” tuturnya. (DJP)