Daily News | Jakarta – Semua tanda menunjukkan bahwa di bawah pemerintahan Prabowo, proses yang dimulai di bawah pemerintahan Jokowi, akan terus berlanjut: sebuah pergeseran ke arah sesuatu yang lebih mirip sistem Soeharto daripada yang coba dibangun oleh para reformis demokrasi liberal 26 tahun lalu.
Banyak pengamat asing menaruh harapan besar pada kemajuan ekonomi Indonesia, akan tetapi mereka sekaligus cemas dengan nasib demokrasi selama pemerintahan Presiden Indonesia ke-8 Jenderal TNI (Purn) Prabowo Subianto.
Harapan atas perbaikan ekonomi tersebut disertai dua alasan. Pertama, Prabowo adalah anak dari Soemitro Djojohadikoesoemo, seorang negarawan Indonesia, dan salah satu ekonom paling berpengaruh di negara ini. Setidaknya Prabowo dianggap mewarisi kemampuan dan kepedulian ayahnya untuk mengurusi masalah-masalah ekonomi selama lima tahun ke depan.
Soemitro menjabat sebagai menteri di bawah Presiden Soekarno dan Soeharto secara berkala pada 1950 dan 1978. Selama kariernya di pemerintahan, Sumitro menjabat sebagai Menteri Perindustrian dan Perdagangan, Menteri Keuangan, dan Menteri Riset di lima kabinet yang berbeda, selain juga pernah menjabat sebagai Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (UI).
Kedua, Prabowo juga meminta Menteri Keuangan Jokowi, Sri Mulyani Indrawati, seorang ekonom Indonesia, yang menjabat sebagai Menteri Keuangan sejak era SBY, sebagai menterinya.
Sri Mulyani adalah orang Indonesia pertama yang menjabat sebagai Direktur Pelaksana Bank Dunia. Jabatan ini diembannya sejak 1 Juni 2010 hingga dia dipanggil kembali oleh Presiden Joko Widodo untuk menjabat sebagai Menteri Keuangan menggantikan Bambang Brodjonegoro.
Jabatan tersebut diembannya lagi sejak 27 Juli 2016. Sebelumnya, dia menjabat Menteri Keuangan Kabinet Indonesia Bersatu. Ketika menjadi Direktur Pelaksana Bank Dunia, Sri Mulyani pun meninggalkan jabatannya sebagai Menteri Keuangan saat itu.
Pada 2004 dia menjabat sebagai Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Kabinet Indonesia Bersatu. Pada 5 Desember 2005 ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengumumkan perombakan cabinet, Sri Mulyani dipindahkan menjadi Menteri Keuangan menggantikan Jusuf Anwar.
Sejak 2008 Sri Mulyani menjabat sebagai Pelaksana Tugas Menteri Koordinator Bidang Perekonomian setelah Menko Perekonomian Dr Boediono dilantik menjadi Gubernur Bank Indonesia.
Sebelumnya Sri Mulyani dikenal sebagai seorang pengamat ekonomi yang menjabat sebagai Kepala Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (LPEM FEUI) sejak Juni 1998.
Titel Menteri Keuangan Terbaik Asia dinobatkan kepada Sri Mulyani oleh Emerging Markets pada 18 September 2006 di sela sidang tahunan Bank Dunia dan IMF di Singapura.
Sri Mulyani juga terpilih menjadi Wanita Paling Berpengaruh ke-23 di Dunia versi majalah Forbes pada 2008, dan Wanita Paling Berpengaruh ke-2 di Indonesia versi Majalah Globe Asia pada Oktober 2007.
Namun, dilansir KBA News dari laman situs The Conversation, Minggu, 20 Oktober 2024, Prabowo memasukkan Sri Mulyani di Kabinet Merah Putih dengan beberapa komitmen yang sangat mahal.
Komitmen tersebut akan membuat pekerjaan Sri Mulyani sangat sulit. Ini termasuk menjalankan program makan siang gratis di sekolah senilai lebih dari 30 miliar dolar AS yang pernah dipertanyakan Sri Mulyani di depan umum, dan melanjutkan pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara.
Selain itu, prioritas utama Prabowo adalah membuat para elit senang, dan mempertahankan koalisinya yang sangat besar. Para pendukung dan sekutunya – termasuk saudaranya, taipan Hashim Djojohadikoesoemo yang telah mendanai karier politiknya – akan menuntut akses ke konsesi.
Kalangan ini, masih menurut The Conversation, bakal menuntut konsesi yang menguntungkan untuk kroni mereka karena sejumlah besar uang mereka yang dihabiskan selama pemilihan presiden Indonesia pada Februari 2024 lalu. “Karena itu, pembuatan kebijakan ekonomi yang rasional akan sangat dibatasi,” tulis The Conversation.
Memang, investasi asing selalu menjadi kunci pertumbuhan tinggi di Indonesia.
Tetapi, terlepas dari retorika terus-menerus tentang Indonesia yang terbuka untuk bisnis, tidak diragukan lagi bahwa proteksionisme dalam praktiknya tetap diberlakukan di bawah pemerintahan Prabowo.
Hal itu kemungkinan akan membuat target pertumbuhan PDB tahunan sebesar delapan persen menjadi mustahil.
Lebih lanjut ditambahkan, Prabowo, yang menempuh pendidikan di luar negeri dan fasih berbahasa Inggris, merasa nyaman mendapat sorot lampu di panggung global.
Dia menginginkan tempat yang lebih menonjol dalam urusan dunia bagi Indonesia, yang mencerminkan ukurannya yang luas, dan status baru Indonesia sebagai negara berpenghasilan menengah.
Semasa menjabat Menteri Pertahanan di pemerintahan Presiden Joko Widodo, Prabowo aktif di kancah internasional, bahkan berupaya menjadi penengah kesepakatan damai antara Rusia dan Ukraina.
Dan, yang jelas membuatnya senang, negara-negara seperti AS yang sebelumnya menolaknya masuk, telah memberi selamat atas kemenangannya.
Hanya saja, masih menurut The Conversation, tantangan utama urusan luar negeri Indonesia di era presiden yang baru ini adalah Prabowo akan sama dengan pendahulunya: mengelola hubungan yang sulit dengan Tiongkok.
Orang Indonesia memang sangat curiga terhadap Tiongkok, sebuah sikap yang didorong oleh ketakutan terhadap komunisme dan kecemasan terhadap ambisi hegemonik Tiongkok yang semakin menunjukkan wajah asli.
Namun, Indonesia merupakan penerima utama investasi Inisiatif Sabuk dan Jalan Tiongkok, dan kaum elit sangat bergantung pada perdagangan dan investasi dengan negara tersebut. Jadi, seperti Jokowi, Prabowo harus mengelola keseimbangan yang sulit ini.
The Conversation lebih lanjut menegaskan, para pemimpin masyarakat sipil Indonesia sudah membicarakan pemerintahan baru Prabowo sebagai “Orde Baru Jilid II” atau “neo-Orde Baru”, dan mudah untuk mengetahui alasannya.
Semua tanda menunjukkan bahwa di bawah pemerintahan Prabowo, proses yang dimulai di bawah pemerintahan Jokowi, akan terus berlanjut: sebuah pergeseran ke arah sesuatu yang lebih mirip sistem Soeharto daripada yang coba dibangun oleh para reformis demokrasi liberal 26 tahun lalu.
Cukup jelas, lanjut The Conversation, Prabowo tidak memiliki antusiasme pada demokrasi. Misalnya, dia dalam pidato perdananya sebagai Presiden Indonesia mengatakan bahwa demokrasi “sangat, sangat melelahkan” dan “sangat, sangat berantakan dan mahal”.
Gerindra, partai politik yang didirikan dan dipimpinnya, bahkan memiliki misi utama untuk kembali ke konstitusi “sebagaimana ditetapkan pada 18 Agustus 1945”. Ini adalah versi asli konstitusi yang diandalkan Soeharto untuk memerintah.
Konstitusi ini tidak menjamin hak asasi manusia atau pemisahan kekuasaan, dan memberikan kekuasaan besar kepada presiden yang tidak dipilih langsung dan tidak memiliki batasan masa jabatan.
Konstitusi ini diamandemen setelah Soeharto lengser untuk menghadirkan model demokrasi liberal. Jadi, kembali ke konstitusi asli 1945 dengan sendirinya kemungkinan akan mengakhiri demokrasi Indonesia yang susah payah diraih.
Namun, Prabowo mungkin tidak perlu sejauh ini untuk menikmati kekuasaan besar yang dimiliki mantan ayah mertuanya itu. Banyak elemen Orde Baru sudah ada. Sebagian besar pekerjaan untuk membongkar demokrasi liberal Indonesia telah dilakukan oleh Joko Widodo, yang putranya, Gibran Rakabuming Raka, sekarang menjadi wakil presiden Prabowo.
Misalnya, pilar utama Orde Baru adalah “dwifungsi”, sebuah doktrin yang memperbolehkan anggota militer yang masih aktif menduduki jabatan sipil, yang memungkinkan mereka mendominasi pemerintahan. Doktrin ini dihapuskan setelah Soeharto lengser.
Namun, tulis The Conversation, amandemen undang-undang pegawai negeri sipil yang disahkan pada Oktober 2024 kembali memperbolehkan anggota aktif tentara dan polisi menduduki jabatan sipil.
Usulan amandemen Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang kini sedang dibahas dapat memperluas hal ini. Ketika ditanya tentang kembalinya tentara ke kehidupan sipil, Panglima TNI menyambut baik perubahan tersebut dengan mengatakan bahwa tentara tidak akan menjalankan “dwifungsi” tetapi “multifungsi”.
Demikian pula, di bawah Soeharto, undang-undang yang represif membatasi kebebasan pers dengan ketat. Kini, KUHP baru yang kontroversial, yang mulai berlaku pada 2026, akan mengembalikan larangan mengeritik pemerintah, yang sebelumnya telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Usulan Undang-Undang Penyiaran baru juga akan melarang “penyiaran konten jurnalisme investigasi”.
Di bawah Orde Baru, aktivisme masyarakat sipil juga dibatasi dengan ketat. Dalam sepuluh tahun terakhir di bawah pemerintahan Joko Widodo telah terjadi peningkatan tindakan pencemaran nama baik dan ancaman terhadap para pengeritik pemerintah.
Undang-undang yang disahkan pada 2017 itu memungkinkan pemerintah untuk membubarkan organisasi non pemerintah tanpa proses peradilan apa pun.
Menurut The Conversation, banyak aktivis sekarang berbicara secara terbuka tentang ketakutan mereka menjadi sasaran dan diintimidasi oleh troll pemerintah atau bahkan badan intelijen.
Yang lain khawatir Prabowo akan menggunakan hubungannya dengan organisasi masyarakat sipil tertentu untuk menekan atau mendelegitimasi kelompok lain yang dilihatnya sebagai pengeritik.
Prabowo juga mengikuti jejak Soeharto dan Jokowi dengan membangun koalisi besar-besaran di badan legislatif nasional, DPR. Lebih dari 80 persen anggota sudah bergabung, dengan hanya satu partai yang bertahan.
Prabowo juga memperluas kabinetnya, yang memungkinkannya untuk memberikan tempat kepada para pendukung dan mengkooptasi yang lain, termasuk anggota masyarakat sipil. Ini akan semakin melemahkan oposisi.
Pemerintahan elit yang “bersatu” seperti ini membuat politik menjadi tidak transparan. Pertarungan politik yang terjadi di balik layar diselesaikan dengan cara dagang sapi tanpa mengindahkan meritokrasi.
Masih dari The Convesation, Joko Widodo mendukung mantan musuh bebuyutannya itu dalam Pilpres 2024. Ini karena Jokowi melihat hal tersebut sebagai cara untuk mempertahankan pengaruhnya setelah dia meninggalkan jabatannya.
Namun, Prabowo akan enggan berbagi kekuasaan dengan siapa pun dalam waktu lama. Hubungannya dengan Jokowi kemungkinan akan menjadi salah satu tantangan terbesar bagi pemerintahannya. (HMP)