Daily News | Jakarta – Fenomena terlihat bahwa kehidupan di Indonesia tidak baik-baik saja. Kondisi objektif yang terjadi sangat mencemaskan khususnya dalam menghadapi 80 tahun Indonesia merdeka. Pertanyaan yang paling serius apakah setelah 80 tahun Indonesia ini masih eksis sebagai negara kesatuan. Ada banyak persoalan yang akan membuat kita berada pada titik krusial mencemaskan baik dalam maupun luar negeri.
Pengamat politik senior UI Watch yang juga doktor ilmu komunikasi Kristya Kartika menyatakan hal itu kepada KBA News, Jum’at, 8 Agustus 2025 menyikapi adanya fakta bahwa kaum separatis sedang aktif melakukan lobi di luar negeri yang bermaksud memisahkan diri dari Indonesia. Mereka menjual isu bahwa elit di Jakarta sangat serakah menghabiskan dan mengekploitasi kekayaan alam daerah mereka.
“Ada gerakan-gerakan yang dibuat untuk menggerogoti kedaulatan nasional kita seperti gejolak di Aceh, Maluku dan Maluku Utara dan enam provinsi di Papua. Ada upaya lobi yang mereka lakukan di Markas Besar PBB di New York yang sedang intensif untuk melakukan pemisahan. Pihak pelawanan lokal itu sudah melakukan koordinasi ke pihak luar untuk melakukan pemisahan di dalam negeri agar Indonesia tidak utuh lagi,” kata mantan Ketua Umum DPP GMNI itu.
Ditambahkannya, para pencetus pemisahan itu menggunakan berbagai cara dan kampanye agar pihak luar yang selama ini menjalin hubungan dengan elit nasional tidak lagi memberikan dukungan kepada Jakarta. Mereka beralasan, ekploitasi sumber daya alam daerah itu sedemikian masif dan tidak lagi memperdulikan azas kesinambungan (sustainable) dan menghormati hak hidup rakyat dan budaya daerah.
“Mereka berusaha menunjukkan Jakarta sudah melakukan pelanggaran HAM yang menghancurkan warga lokal, terutama dalam 10 tahun pemerintahan Jokowi. Mereka pun berkampanye, jarak Jakarta dengan deerah-daerah itu sangat jauh. Ini memakan biaya besar. Jauh lebih efektif dan ekonomis apabila negara-negara besar itu langsung berhubungan dengan elit lokal tanpa melibatkan Jakarta dengan jalan membantu kemerdekaan daerah-daerah itu,” kata mantan Sekjen Partai MKGR itu.
Dijelaskan oleh Mas Kris, panggilan akrabnya, mereka yang ingin merdeka ini adalah orang-orang daerah yang merasakan kekayaannya dirampas oleh Jakarta. Penduduk asli tidak mendapatkan apa-apa kalau pun dapat sangat kecil yag tidak seimbang dengan apa yang diambil Jakarta. Perimbangan keuangan Pusat-Daerah yang dituangkan dalam UU sudah tidak dianggap memberikan kemakmurkan kepada daerah.
Tidak lagi memadai
Ideologi sosioalis yang sekarang muncul juga dianggap tidak memadai untuk memberikan kesejahteraan kepada daerah. Idiom sosialisme berwajah religius ternyata tidak cukup meyakinkan untuk menciptakan kemakmuran. Malah kesan menghisap rakyat yang berada di kawasan kaya sumber daya alam sangat kencang. Apalagi ditambah dengan fenomena keserakahan elit politik dan ekonomi Pusat mengekloatir daerah sehingga cuma menyisakan kehancuran dan kerusakan alam di daerah itu, seperti emas, nikel dan batubara.
Memang, katanya, ketika kemerdekaan diproklamirkan 80 tahun lalu ada upaya untuk mengusung nasionalisme dengan membuang feodalisme. Faktanya, nasionalisme meluntur dan muncul feodalisme baru yang serakah, malah dalam keserakahan yang berlebih-lebihan seperti yang ditunjukkan oleh Jokowi dan rezimnya. Barangkali dalam konteks itu di tahun 2019 Prabowo menyatakan bahwa di tahun 2030 Indonesia akan bubar, karena melihat keserakahan itu. Tetapi kemudian demi prinsip permisifisme dia justru bergabung dengan Jokowi, sekarang tidak terdengar lagi dia menyuarakan kekhawatirannya itu.
Keserakahan elit nasional itu bertemu dengan keserakahan global dari Cina dan Amerika. Ini membuat cita-cita negara seperti yang termaktub dalam pembukaan UUD ’45 menjadi semakin susah tercapai. Oligarki yang ada di Indonesia itu tidak lain adalah manifestasi dari oligarki internasional yang berkedok liberalisasi. Jokowi itu adalah manifestasi keserakahan lokal yang bergabung dengan keserakahan global.
Dengan kata lain, jokawi adalah agen liberalisme yang memang memberikan akses kepada keserakahan global, terutama lewat Cina untuk menyedot kekayaan Indonesia dan memerangkapkannya ke dalam utang yang sangat besar. “Kita akan melihat apakah Prabowo bisa mengerem ulah Jokowi ini atau dia akan mempercepat kehancuran Nasional itu sehingga pada 2030, seperti katanya sendiri, Indonesia sudah tidak ada lagi.”
Banyak yang meramalkan bahwa Indonesia akan dilanda anarkisme Internasional di mana pihak-pihak asing akan membantu daerah-daerah yang bergolak menjadi merdeka. “Yang bisa melawan semua itu adalah munculnya elit baru yang sadar untuk memberikan otonomi yang seluas-luasnya kepada daerah dan menghentikan tindakan menghisap sumber daya alam di daerah yang sepenuhnya memenuhi keserakahan elit nasional seperti yang diperlihatkan dalam 10 tahun pemerintahan Jokowi,” demikian Kristya Kartika. (EJP)