Daily News | Jakarta – Pengacara senior sekaligus Ketua Umum DPP Ikatan Keluarga Alumni (IKA) UII, DR Ari Yusuf Amir, mengatakan pembaruan hukum melalui pengesahan Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset kini sudah menjadi kebutuhan penting. Apalagi kejahatan seperti korupsi dan pencucian uang selama ini belum mendapat hukuman yang serasi karena aset hasil kejahatannya sering tetap bisa dinikmati pelaku.
“Kita menyaksikan bagaimana pelaku korupsi hanya dihukum ringan, namun aset hasil kejahatannya tetap bisa disimpan, dialihkan, bahkan diwariskan. Ini membuat korupsi tidak lagi menakutkan, tapi menjadi peluang yang menggiurkan,” kata Ari dalam diskusi webinar yang dikuti KBA News dengan tema “Urgensi Pengesahan RUU Perampasan Aset, Kamis siang, 12 Juni 2025
Dalam diskusi tersebut terdapat tiga narasumber, yakni pakar hukum pidana Prof Dr Mudzakkir SH MH, Anggota Komisi III DPR RI Muhammad Nasir Djamil, dan Fitriadi Muslim, Deputi Bidang Pelaporan dan Pengawasan PPATK. Dari benang merah diskusi ini ada satu hal yang penting bahwa RUU Perampasan Aset harus dikaji secara serius agar nanti bila disyahkan bisa efektif dalam memberantas korupsi.
Terkait soal tingkat keparahan korupsi di Indonesia, Ari mengatakan memang perlunya aturan yang lebih tegas. Apalagi mengacu pada data Indonesia Corruption Watch (ICW) menunjukkan bahwa pengembalian uang negara dari hasil kejahatan korupsi hanya sekitar 2,2 persen dari total yang dikorupsi.
“Adanya semakin memburuknya pemberantasan korupsi di Indonesia jelas menandakan bila sistem hukum di Indonesia punya masalah. Pada saat ini hukum belum mampu menyentuh akar permasalahan, yaitu pemulihan aset hasil tindak pidana yang dirampas dari rakyat,’’ ungkapnya.
Terkait hal itu Ari menilai, RUU Perampasan Aset merupakan upaya korektif yang berani. RUU ini memberikan kewenangan negara untuk menyita dan merampas aset hasil tindak pidana tanpa harus menunggu vonis pidana, sebagai upaya memutus rantai impunitas dan memastikan keadilan benar-benar dirasakan rakyat.
“Dalam negara hukum, keadilan tidak cukup ditegakkan di ruang sidang, tetapi harus nyata dirasakan dalam kehidupan rakyat,” ujar Ari kembali.
Ia menambahkan, digelarnya forum diskusi mengenai RUU Perampasan Aset juga mencerminkan komitmen IKA UII dalam mendorong pembaruan hukum yang berpihak pada kepentingan rakyat. Dan ini juga sebagai bagian dari tanggung jawab keilmuan dan kebangsaan.
“IKA UII mendukung penuh pengesahan RUU Perampasan Aset yang komprehensif, transparan, dan berpihak pada rakyat. Karena membiarkan aset hasil korupsi tetap aman di tangan pelaku adalah bentuk kejahatan kedua yang dilakukan oleh sistem,” tegas Ari Yusuf Amir.
Sementara itu, Deputi Bidang Pelaporan dan Pengawasan PPATK, Dr Fithriadi Muslim, mengatakan keberadaan UU Perampasan aset sudah sangat diperlukan. Apalagi sampai saat ini terhadap banyak hambatan terkait proses ‘asset recovery’ atau pemulihan aset untuk mengidentifikasi, melacak, menyita, dan mengembalikan aset yang diperoleh secara ilegal, terutama dalam kasus korupsi, pencucian uang, dan kejahatan keuangan lainnya.
Hambatan tersebut adalah yang pertama, tidak tersedianya kebijakan dan komitmen yang memadai dalam melakukan identifikasi, pelacakan, dan penyelamatan aset. Kedua, tidak tersedianya sumber daya yang memiliki tugas khusus untuk melakukan identifikasi dan pelacakan aset.
Ketiga, tidak optimalnya ‘tindakan sementara’ berupa menunda transaksi, mengunci transaksi, pemblokiran, dan penyertaan dalam rangka pengamanan aset. ”Selain itu kendalanya adalah tidak tersedianya peraturan nasional mengenai penggunaan aset tanpa tuntutan pidana. Juga karena belum optimalnya pertukaran informasi antar otoritas yang berwenang,’’ tandas Dr Fithriadi Muslim. (AM)