Daily News | Jakarta – Pengamat Politik Universitas Widya Mataram (UWM) Yogyakarta, Dr. Martadani Noor, MA, menyatakan, pertarungan dalam perebutan kursi Gubernur DKI Jakarta kurang menarik. PDIP yang dinilai sebagai representasi perlawanan terhadap Istana, tampaknya belum mampu menyiapkan jagoan yang handal.
PDIP resmi mencalonkan Pramono Anung-Rano Karno. Dua kader partai pimpinan Megawati Soekarnoputri ini akan bersaing dengan Ridwan Kamil-Suswono yang dicalonkan 12 partai yang tergabung dalam KIM Plus.
“Dengan mencalonkan Pramono-Rano, itu menandakan PDIP tidak ada oposisi,” kata Martadani kepada KBA News, Rabu, 28 Agustus 2024.
Dekan Fisipol UWM Yogyakarta itu menyatakan, calon gubernur yang dicalonkan PDIP, Pramono Anung yang saat ini menjabat Sekretaris Kabinet (Setkab), bisa jadi representasi rezim atau Istana.
“Itu representasi rezim, kan di Setkab. Diiringi dengan penyalahgunaan kekuasaan Prof Denny di Setkab-nya. Artinya, dia tahu persis hitam putih,” jelasnya.
Dia menduga PDIP ‘diintimidasi’ Istana, sehingga semangat perlawanannya pun luntur. Rezim atau Istana itu bekerja dengan dua pola. “Pola rezim ini memilih yang mudah, pragmatis, atau mengungkit-ungkit kasus hukum. Dua itu polanya, reward atau ancaman,” jelasnya.
Martadani mengatakan, meski sisa waktu Presiden Jokowi tinggal dua bulan, dia masih kuat. Rezim selanjutnya (Prabowo-Gibran) hanya ganti orang, tapi polanya tetap sama.
Kondisi ini membuat PDIP perhitungan. Apalagi kekuatan PDIP mulai melemah, infrastrukturnya juga sudah tidak kuat.
“Misalnya dipanggil terkait masalah hukum seperti yang dialami Hasto. Ini pesan politik hukum ke PDIP. Pesan ini tentu juga perhitungan PDIP, tidak mungkin diabaikan,” jelasnya.
Katanya, sebenarnya Anies Baswedan juga sudah berkali-kali diancam rezim. “Anies juga pernah diancam seperti itu, lewat KPK (Formula E). Tapi itu mentah-mentah, tidak cukup bukti. Pola rezim memang seperti itu,” katanya. (DJP)
Discussion about this post