Daily News | Jakarta – Padahal dalam demokrasi rakyat harus lebih disuguhkan berbagai macam alternatif pilihan. Pemilu harus memberikan pilihan yang kompetitif kepada rakyat.
Maka, Kawal Pemilu dan Demokrasi (KPD) menilai koalisi permanen yang diwacanakan Presiden Prabowo Subianto berpotensi merugikan demokrasi karena akan terjadi ketidakseimbangan kekuatan politik. Dampaknya, kebijakan pemerintah bisa berjalan tanpa kontrol efektif.
“Koalisi permanen dapat menciptakan monopoli kekuasaan, dimana partai-partai terpaksa ikut dalam koalisi besar. Padadal demokrasi yang sehat memerlukan persaingan ide dan gagasan antar partai,” kata Koordinator KPD Miftahul Arifin, dalam keterangan resminya, diterima KBA News, Sabtu, 15 Februari 2025.
Menurutnya, jika dalam demokrasi ada satu kelompok yang terlalu dominan, ini berpotensi terjadi pengendalian sistem politik yang tidak sehat. Di sini sistem multipartai menjadi tidak relevan, karena yang berkuasa hanya satu kelompok besar.
“Demokrasinya mengarah ke demokrasi procedural bukan subtansial, pemilu tetap diadakan, tetapi tidak ada persaingan politik yang berarti. Dan pemilu hanya menjadi formalitas saja,” jelasnya.
Lanjut dia, koalisi permanen bisa membuat demokrasi kehilangan makna, karena tidak ada kompetisi politik. Rakyat akan kehilangan alternatif pilihan dalam pemilu.
“Padahal dalam demokrasi rakyat harus lebih disuguhkan berbagai macam alternatif pilihan. Pemilu harus memberikan pilihan yang kompetitif kepada rakyat,” ujarnya.
Diketahui, Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto meminta partai-partai Koalisi Indonesia Maju (KIM) plus untuk terus kompak sampai 2029. Presiden Indonesia ini pun menawarkan KIM plus menjadi koalisi permanen.
Hal itu disampaikan Prabowo dalam kegiatan silaturahmi bersama para ketua umum partai KIM plus di kediaman Prabowo di Hambalang, Jawa Barat, Jumat, 14 Februari 2025.
Tak Pengaruhi Oposisi
Presiden Prabowo Subianto berencana membentuk koalisi permanen dengan semua partai politik (parpol) anggota Koalisi Indonesia Maju (KIM). Rencana ini bertujuan agar persatuan antarparpol bisa lebih maksimal.
Terkait hal itu, Pengamat Politik Salamuddin Daeng melihat wacana koalisi permanen tidak akan berpengaruh terhadap parpol oposisi. Ia menilai, partai-partai oposisi masih bisa bertahan dalam kondisi perplitikan Indonesia.
“Saya rasa tidak akan (menghilangkan oposisi) kan masih ada partai-partai yang di luar pemerintahan. Oposisi itu tidak mungkin hilang dari sisi politik,” kata Daeng kepada KBA News, Sabtu, 15 Februari 2025.
Menurutnya, wacana tersebut tidak akan menghilangkan eksistensi oposisi di Indonesia. Terlebih, Indonesia belum menerapkan oposisi ekstrim sebagaimana sistem demokrasi liberal pada umumnya.
“Sebetulnya, kita kan tidak menganut sistem oposisi seperti yang terjadi dalam demokrasi liberal pada umumnya, karena kita tidak ada pertarungan yang seperti itu,” ucap Daeng.
Ia juga menyoroti oposisi di Indonesia yang terbilang masih sangat manusiawi. Partai-partai oposisi di Indonesia hanya mengkritik kebijakan-kebijakan pemerintah yang dianggap kurang baik untuk rakyat.
“Kita kan oposisi bisa dibilang oposisi yang masih hal-hal populis, seperti ada kebijakan pemerintah yang kurang baik, mereka kritik,” terangnya.
Negara-negara penganut sistem demokrasi liberal yang kuat, partai oposisi menjadi momok bagi pemerintahan. Baik atau buruknya kebijakan pemerintah, oposisi selalu menentang dengan sangat keras.
Keadaan seperti itu yang membuat Indonesia masih berada dalam kategori aman untuk pemerintah ataupun oposisi. Sehingga, wacana koalisi permanen tidak begitu berpengaruh terhadap keberadaan oposisi di Tanah Air.
“Kalau oposisi dalam artian sebenarnya tidak peduli, pemerintah mau ngapain aja tetap ditentang,” pungkasnya.
Sebelumnya, Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar mengungkapkan, Presiden Prabowo Subianto telah menawarkan koalisi permanen kepada para elite partai politik dalam KIM.
Pernyataan tersebut disampaikan Cak Imin usai menghadiri silaturahmi KIM di kediaman Prabowo di Hambalang, Bogor, pada Jumat, 14 Februari 2025. (DJP)