Daily News | Jakarta – “Jangan sampai ada kesan bahwa hukum tumpul ke atas tetapi tajam ke bawah. Kalau masalah pendidikan Gibran saja tidak bisa diselesaikan dengan transparan itu akan menjadi noda bagi pemerintahan Prabowo.”
Maka, keberadaan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka dalam pemerintahan Presiden Prabowo Subianto saat ini berpotensi menjadi “duri dalam daging”. Dia bukan saja hanya figur muda tanpa kapasitas politik dan administratif yang memadai serta pendidikannya diragukan, tetapi juga sosok yang membawa beban politik dari pemerintahan sebelumnya—yakni pemerintahan ayahnya, Joko Widodo.
Pengamat politik yang juga adalah Direktur Gerakan Perubahan dan Koordinator Indonesia Bersatu Muslim Arbi menyatakan hal itu kepada KBA News, Kamis, 9 Oktober 2025 menanggapi polemik sekitar posisi Gibran dan kemungkinan adanya gerakan pemakzulan setelah terungkap bukti-bulkti yang tidak terbantahkan bahwa dia tidak tamat SMA atau sederajat sehingga tidak memenuh syarat berdasarkan Undang-undang untuk menjabat sebagai Wakil Presiden.
“Gibran tidak punya kapasitas menjadi wakil presiden. Pendidikan dan pengalaman pemerintahannya masih sangat terbatas. Malah kini muncul dugaan ia tidak tamat SMA,” kata Muslim Arbi. Pernyataan itu sontak memantik diskursus luas. Apalagi, isu seputar ijazah Gibran belakangan kembali menjadi topik panas di ruang publik—sebuah polemik yang mirip dengan yang sempat menimpa sang ayah beberapa tahun lalu hingga saat ini.
Ketika Prabowo Subianto menerima Gibran sebagai calon wakil presiden pada Pilpres 2024, banyak kalangan menilai langkah itu sebagai kompromi politik besar. Di satu sisi, Prabowo memperoleh dukungan penuh dari jaringan kekuasaan Jokowi; di sisi lain, ia harus berbagi panggung dengan sosok yang dianggap belum matang secara politik.
Menurut Muslim Arbi, Prabowo kini terikat oleh beban politik yang ia warisi dari Jokowi, terutama dalam menghadapi ekspektasi publik dan kelompok-kelompok kepentingan di sekitar istana lama.“Gibran ini bukan sekadar wakil presiden. Ia simbol dari perpanjangan kekuasaan Jokowi di era Prabowo. Di situlah masalahnya,” ujar Muslim.
Ia menilai, langkah Prabowo untuk menyeimbangkan pengaruh lama dengan arah kebijakan barunya akan menjadi ujian besar. “Kalau Prabowo tidak berhati-hati dan waspada, Gibran bisa menjadi duri dalam daging. Bukan karena niat jahat, tapi karena posisinya yang ambigu—antara loyal kepada presiden atau loyal kepada sang ayah,” imbuhnya.
Isu tentang ijazah SMA Gibran kembali muncul di berbagai platform media sosial. Sejumlah akun aktivis dan pegiat hukum mempertanyakan keaslian dokumen pendidikan Gibran saat ia mendaftar sebagai calon wakil presiden. Meski belum ada bukti sahih yang menyatakan adanya pelanggaran hukum, keraguan publik kian menguat karena tidak ada klarifikasi langsung yang terbuka dan menyeluruh dari pihak Gibran maupun tim Istana.
Dibuka secara transparan
Muslim Arbi menilai, polemik ini seharusnya dijawab secara transparan. “Kalau memang benar tidak ada masalah, kenapa tidak dibuka saja ke publik? Kalau dibiarkan, publik akan menilai ada sesuatu yang disembunyikan. Itu bisa menggerus kepercayaan kepada Gibran dan sekaligus terhadap pemerintahan Prabowo,” ujarnya.
Muslim menilai, isu ijazah ini tidak hanya soal administratif, tetapi juga soal trust atau kepercayaan terhadap legitimasi kepemimpinan nasional. Dalam konteks demokrasi, legitimasi bukan hanya soal legalitas hasil pemilu, tetapi juga persepsi publik terhadap integritas personal pejabat negara.
Sumber internal yang dekat dengan lingkaran pemerintahan menyebut, hubungan antara Prabowo dan Gibran sejauh ini berjalan formal dan berhati-hati. “Tidak ada konflik terbuka, tapi juga belum tampak keintiman politik seperti presiden dan wakil presiden pada umumnya,” kata seorang pejabat senior yang enggan disebut namanya.
Menurutnya, Prabowo tetap menghormati Gibran sebagai wakil presiden, namun jarang melibatkan putra Jokowi itu dalam pengambilan keputusan strategis.“Banyak agenda kenegaraan yang dijalankan Prabowo tanpa kehadiran Gibran. Wapres lebih sering diundang dalam acara seremonial atau kegiatan sosial,” ujarnya.
Situasi ini, menurut Muslim Arbi, justru memperkuat kesan bahwa peran Gibran di pemerintahan sangat terbatas, sementara simbol politiknya terlalu besar. “Ini ibarat dua sisi mata uang. Ia tidak punya kekuasaan nyata, tetapi kehadirannya menciptakan bayangan panjang Jokowi di tubuh pemerintah Prabowo.,” katanya.
Masalah Gibran ini harus diselesaikan segera. Prabowo harus berani menegakkan ‘lex justitia’ hukum yang adil bagi semua. “Jangan sampai ada kesan bahwa hukum tumpul ke atas tetapi tajam ke bawah. Kalau masalah pendidikan Gibran saja tidak bisa diselesaikan dengan transparan itu akan menjadi noda bagi pemerintahan Prabowo,” demikian Muslim Arbi. (AM)