Daily News | Jakarta – Harapan untuk mencapai Indonesia Emas pada Peringatan 100 tahun Kemerdekaan merupakan sesuatu yang wajar dan mungkin saja tetapi, tantangan ke arah itu sangat besar. Itu karena gejolak dunia yang tidak menentu di mana banyak terjadi perang, instabilitas kawasan ASEAN, Pertumbuhan ekonomi yang tidak menggembirakan dan rasio utang terhadap PBD yang semakin mengkhawatirkan.
“Indonesia Emas di tahun 2045. Bisa saja diraih tetapi, melihat kondisi sekarang, jika kita tidak waspada dan hati-hati, bukan tidak mungkin menjadi Indonesia Cemas,” kata pengamat ekonomi senior dari Universitas Indonesia (UI) Watch Hasril Hasan kepada KBA News, Rabu, 6 Agustus 2025. Dia menyatakan kerisauannya atas perkembangan ekonomi dan utang yang tidak menggembirakan.
Hasril menyatakan hal itu merujuk kepada Laporan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) yang diterbitkan Akhir Juli 2025. Laporan itu menunjukkan ekonomi nasional tidak berada dalam kondisi yang baik dan sehat. Melalui White Paper yang berjudul Indonesia: Agenda Ekonomi dan Masyarakat, terungkap cita-cita menjadi negara berpendapatan tinggi, adil dan sejahtera pada momen 100 tahun kemerdekaan berpotensi gagal tercapai.
Laporan itu menambahkan, berdasarkan indikator dan perbandingan dengan sejumlah negara yang lebih dulu naik kelas, Indonesia belum memenuhi prasyarat penting untuk menyandang status negara berpendapatan tinggi. Jauh tetinggal dibandingkan dengan Malaysia, Thailand, Brazil dan China, apalagi dengan Singapura. Mereka sudah memenuhi syarat untuk masuk ke dalam kelompok negara berpendapatan menengah ke atas.
Laporan itu merekomendasikan, sebaiknya mulai sejak dini, pemerintah mengalihkan fokus dari mengejar ambisi meraih status negara kaya menuju program konkrit yang populis, seperti penanggulangan kemiskinan, pengurangan ketimpangan dan fokus pada pekerjaan membangun kelas menengah yang tangguh dan kreatif.
Hal itu, tambah Laporan itu, realitas di lapangan menunjukkan mayoritas rumah tangga di Indonesia masih dalam kondisi ekonomi yang rapuh. Bahkan sekitar 12 persen mereka hidup dalam kondisi kemiskinan yang berkepanjangan. Mereka itu rentan dan jumlahnya cenderung bertambah jika terjadi badai ekonomi seperti krisis moneter dan ekonomi yang terjadi pada tahun 1997-98.
Memang cenderung rawan
Menurut Hasril, ekonomi nasional memang rawan. Di samping terjadi pasar yang stagnan karena serbuan barang-barang impor yang murah yang menyebabkan industri dalam negeri hancur dan semaput, juga karena badai PHK yang melanda hampir semua sektor manufaktur. Ini berakibat pada makin membludaknya pengangguran.
Di samping itu, rasio utang terhadap APBN sangat besar. Tahun ini saya kita harus mengeluarkan dana untuk bayar angsuran dan bunga utang tidak kurang Rp 900 Triliun. Itu berarti 25 persen dari pagu APBN kita yang Rp 3.600 Triliun. Beban bunga utang naik terus karena rupiah tertekan dalam depresiasi mata uang rupiah terhadap dolar AS. Tiap tahun depresiasi itu mengganggu neraca pembayaran kita. Naiknya dolar membuat program-program sosial kita makin mengecil.
Sekarang kita masih aman karena karena rasio utang kita terhadap PBD masih di bawah 40 persen, tepat saat ini mencapai 35 persen. Lampu merah adalah jika rasio itu mencapai 60 persen. Apakah itu akan tercapai, tanyanya. “Bisa saja jika ekonomi kita tidak membaik, dolar naiknya menggila dan kita tidak bisa membuat pertumbuhan ekonomi yang merangsang terbukanya lapangan kerja. Saat ini, pertumbuhan ekonomi kita di bawah 5 persen. Untuk memberikan dampak bagi penciptaan lapker baru maka ekonomi kita harus di atas 6 persen,” kata mantan direktur Tupperware Indonesa itu.
Janji pemerintahan Probowo-Gibran untuk menciptakan 19 juta Lapker baru, seperti yang dijanjikan Gibran tidak akan terwujud jika ekonomi tidak tumbuh dengan baik. Demikian juga janji untuk memberikan kondisi kehidupan yang serba-gratis seperti janji Prabowo. Itu hanya janji kampanye yang tidak rasional yang meninabobokan rakyat kecil tetapi menjadi bahan tertawaan bagi para intelektual dan orang yang berpendidikan.
“Sampai saat ini, hampir setahun pemerintahan ini berjalan, kita belum melihat usaha bagaimana pertumbuhan ekonomi dipacu di atas 5 persen. Semua masih terpengaruh dengan eforia kemenangan Pilpres 2024. Belum nampak bekerja keras demi kepentingan rakyat,” demikian Hasril Hasan. (EJP)