Daily News | Jakarta – Jika transparansi pejabat publik diselesaikan dengan pendekatan hukum, maka kualitas akuntabilitas publik akan ikut tergerus dan akan melahirkan preseden buruk dan dianggap sebagai upaya pembungkaman.
Maka, pakar manajemen publik dari Universitas Ibn Kholdun (UIKA) Bogor, Nandang Sutisna, menilai polemik terkait keaslian ijazah Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi) tidak dapat diperlakukan semata-mata sebagai isu personal atau hukum, melainkan telah berkembang menjadi isu publik.
Dalam perspektif manajemen publik, kata dia, isu yang terus berulang di ruang publik, meskipun belum terbukti secara hukum, tetap memiliki dampak langsung terhadap keharmonisan kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
bagi Sumatera: DPW Gerakan Rakyat Aceh Bentuk Tim Peduli Bencana“Sikap mantan Presiden Jokowi yang tidak memberikan klarifikasi final dan meminta pihak penuduh membuktikan tuduhannya secara hukum dapat dibenarkan, namun secara manajerial dan komunikatif publik menyisakan ruang spekulasi yang pelik dan berkepanjangan,” katanya saat diwawancara KBA News, Rabu, 17 Desember 2025.
Ia menjelaskan, ketika isu personal mantan kepala negara terus menjadi konsumsi publik, maka isu tersebut telah bertransformasi menjadi isu publik, bukan lagi urusan privat, sehingga dituntut kearifan mantan pejabat publik untuk menunjukan sikap keterbukaan.
Menurutnya, secara hukum, pihak yang menuduh memang wajib membuktikan. Namun secara etik dan administratif, tokoh publik, terlebih sekelas mantan presiden, memiliki kepentingan strategis untuk menutup ruang keraguan melalui transparansi yang proporsional.
Memanfaatkan polemik
Ia juga menilai, Jokowi terkesan “menikmati” atau “memanfaatkan” polemik ini karena namanya terus diperbincangkan dan tidak henti mengisi ruang publik yang bisa menjaga popularitasnya di dunia politik walaupun jabatan formalnya sebagai kepala negara sudah berakhir.
Ia menjelaskan, dalam teori issue management, isu yang tidak diselesaikan secara substantif akan terus direproduksi oleh opini publik, media sosial, dan aktor politik, tanpa batas waktu yang jelas dan ini mengganggu stabilitas sosial dan politik karena terus memelihara perbedaan dan perseteruan diantara kelompok yang pro dan kontra.
Menurutnya, dalam tata kelola yang sehat, isu yang menyangkut kredibilitas tokoh penting seperti mantan presiden, seharusnya diselesaikan secara administratif dan komunikatif, bukan dibiarkan menjadi perdebatan liar yang berulang.
Ia menyebut, pembiaran polemik semacam ini berpotensi menciptakan preseden buruk bagi pemerintahan ke depan, khususnya dalam standar transparansi pejabat publik.
“Jika transparansi pejabat publik diselesaikan dengan pendekatan hukum, maka kualitas akuntabilitas publik akan ikut tergerus dan akan melahirkan preseden buruk dan dianggap sebagai upaya pembungkaman,” katanya.
“Manajemen publik menempatkan kepercayaan publik sebagai modal utama negara; dalam konteks ini, kejelasan dan ketegasan informasi jauh lebih penting daripada sikap defensif,” ujarnya. (DJP)



























