Daily News | Jakarta – Kader dan sekretaris Badan Bantuan Hukum DPP PDI Perjuangan, Sirra Prayuna, mengatakan tindakan yang sangat nekad bila Badan Legislasi DPR di dalam rapatnya ada hari ini (Rabu 21 Agustus 2024) berani memutuskan membatalkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menurunkan ambang batas pencalonan kepala daerah. Bila itu terjadi maka risikonya nanti dapat timbul ‘disobedient’ (ketidaktaatan) dari masyarakat kepada hukum dan ketertiban sosial.
”PDI Perjuangan jelas akan melawan keinginan DPR untuk melawan keputusan MK tersebut. Ini karena sikap ini melawan azas negara hukum dan demokrasi. Peraturan perundangan dipelintir sedemikian rupa. DPR bukan wakil rakyat tapi wakil, bahkan menghamba kepada kekuasaan,” kata Sirra Prayuna kepada KBA News, Rabu pagi 21 Agustus 2024.
Maka, lanjut Sirra bila sampai putusan Baleg DPR menyepakati untuk melawan keputusan MK maka pasti akan ada reaksi balik dari publik yang sangat keras. Situasi negara nantinya akan ‘set back’ ke masa Orde Baru yang otoriter. Akhirnya berakibat fatal akan memantik konflik di dalam masyarakat.
”Bercerminlah dengan apa yang terjadi di Bangladesh sekarang ini. Kerusuhan di sana hanya dipicu oleh suatu hal yang sangat sepele, yakni soal diskriminasi dalam penerimaan pegawai negara sipil. Karena rakyat tak terima, maka kemudian membesar menjadi krisis politik. Keadaan yang sama pun sudah beberapa waktu lalu terjadi di Papua New Guinea. Nah, sekarang apakah DPR sampai tega memicu kejadian itu?” ungkapnya.
Sirra menegaskan, saat ini masyarakat telah merasakan kembali keadilan melalui putusan MK yang menurunkan ambang batas pencalonan kepala daerah itu. Mereka mengakui akal sehat dari negara hukum dan demokrasi telah dikembalikan kepada rel konstitusi yang sejati. Kekuasaan menjadi benar-benar dibatasi dan tidak melakukan segala hal dengan semena-mena demi kepentingan seseorang dan kelompoknya belaka.
”Jadi bila nekad, maka DPR melakukan kelucuan sekaligus kekonyolan dalam praktik kenegaraan Indonesai yang demokratis. Negara kembali terjebak dalam feodalisme. Semua menghamba pada kekuasaan. Indonesia yang bersistem republik ternyata dijalankan dengan praktik feodal atau ala kerajaan. Ini beda dengan Inggris, di mana negara itu merupakan negara kerjaan tapi dipraktikan melalui praktik yang republik. Inilah paradoksnya,” tegas Sirra.
Menanggapi mengenai sinyalir bahwa munculnya berbagai kontroversi dalam praktik kenegaraan saat ini terkait dengan penyelenggaraan Pilkada, khususnya Pilkada Jakarta 2024, Sirra menyatakan hal itu memang demikian adanya. Tampak sangat jelas bila tangan kekuasaan yang akan lengser itu terus berusaha ‘cawe-cawe’ dalam mengendalikan seluruh pilkada.
”Jadi bukan hanya kekuasaan berusaha campur tangan di Pilkada Jakarta saja, tapi ingin semua pilkada. Ini aneh sebab kekuasaan akan segera berganti.”
”Jadi harapan saya, jangan lagi DPR melawan keputusan MK tersebut. Harus diingat pada aturan konstitusi para pemimpin (termasuk anggota DPR) itu tunduk pada undang-undang, bukan tunduk pada kekuasaan dengan melawan undang-undang. Kekuasaan jangan rakus. Seolah hanya dialah yang bisa menyelamatkan negara. Nasib negara tergantung pada kelompok dan keluarganya. Jangan dong lakukan hal nista seperti itu. Semua untuk negara dan negara untuk semua,” tandas Sirra Prayuna. (DJP)
Discussion about this post