Daily News | Jakarta – Ahli Kebijakan Politik alumni FISIP UI Sudrajat Maslahat menegaskan, Putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 tentang ambang batas persyaratan calon kepala daerah adalah bersifat final dan mengikat. Karena itu tidak bisa diubah dan dibatalkan oleh lembaga apapun.
Dia menyatakan hal itu kepada KBA News, Kamis, 22 Agustus 2024 menyikapi tindakan DPR menganulir keputusan Mk itu dan membuat keputusan yang bertentangan. “Negara sedang kacau. Kok ada dua lembaga negara bisa membuat keputusan yang berbeda untuk satu topik yang sama?”
Selasa kemarin MK membuat keputusan mengubah ambang batas 20 persen kursi parlemen atau 25 persen hasil suara pileg untuk calon berlaga di Pilkada. Keputusan itu disambut gembira oleh aktivis demokrasi dan pemilu di tanah air..
MK membuat keputusan baru. Dalam Pilkada Gubernur bahwa DPT di bawah 2 juta penduduk maka syarat dukungan 10%, DPT 2-6 juta penduduk maka syarat dukungan 8 persen, DPT 6-12 juta penduduk maka syarat dukungan 7,5%. Sedangkan DPT di atas 12 juta penduduk maka syarat dukungan 6,5%
Sedangkan untuk Pilkada Kabupaten/kota syaratnya adalah DPT di bawah 250 ribu penduduk maka syarat dukungan 10%, DPT 250-500 ribu penduduk maka syarat dukungan 8,5%, DPT 500-1 juta penduduk maka syarat dukungan 7,5%. Sedangkan DPT di atas 1 juta penduduk maka syarat dukungan 6,5%.
MK pun membuat keputudan tentang umur calon. Yang dapat mengajukan diri berusia sekurang-kurangnya 30 tahun sewaktu mencalon. Tetapi putusan MK itu dimentahkan oleh DPR di mana diputuskan aturan lama tentang 20 persen itu tetap berlaku dan usia calon juga diperlonggar yaitu minimal 30 tahun sewaktu dilantik.
Ulah provokatif
Sudrajat mengecam ulah provokatif DPR itu sebab keputusan MK itu bersifat final dan mengikat. Artinya tidak ada upaya hukum apapun lagi untuk mengubah keputusan tersebut, dan semua lembaga yang terkait seperti KPU dan Bawaslu wajib mematuhi dan menjalankan aturan tersebut.
“DPR jangan jadi badut politik, apalagi alat dari kekuasaan. Malulah Anda pada rakyat, tidak ada kewenangan Badan Legislatif DPR untuk mempersoalkan apalagi untuk menganulir keputusan MK yang bersifat final dan mengikat,” kata dosen di beberapa perguruan tinggi di Banten itu.
Ditegaskannya, ini negara hukum bukan negara kekuasaan, Jokowi sebagai presiden dan kepala negara harus tunduk pada keputusan MK. Tidak seharusnya dia merasa berada di atas hukum dan sekehendak hatinya mengacak-ngacak hukum sesuai dengan nafsu dan ambisinya.
“Saya yakin rakyat sudah muak dengan dugaan cawe cawe yang dilakukan Jokowi yang melahirkan pilpres diduga curang dan kini dengan rasa superiornya ingin mengacak-ngacak pilkada serentak dengan membuat poros KIM Plus yang berbau otoritarianisme ala Jokowi, mengkooptasi semua daerah pemilihan. Sungguh merupakan pemikiran yang jahat dan bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi,” tegasnya.
Keputusan MK telah menjadi mimpi buruk seorang pemimpin yang mengalami Post Power Syndrome. “Apapun manuver rezim menggiring DPR untuk menolak keputusan MK akan berhadapan langsung dengan rakyat,” demikian Sudrajat Maslahat. (DJP)
Discussion about this post