Daily News | Jakarta – Sejak reformasi 1998, politik dan kekuasaan uang di Indonesia semakin merajalela. Di era kepemimpinan Megawati dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), praktik ini memang ada, tetapi tidak sebrutal sekarang. Perubahan yang diinginkan rakyat pun semakin sulit tercapai di tengah arus politik uang yang deras.
Masyarakat luas mendambakan perubahan besar. Namun, tantangan muncul ketika politik uang menguasai hampir seluruh aspek kehidupan di Tanah Air. Dari lembaga-lembaga negara, aparat hukum, hingga keamanan, kekuasaan uang seakan menjadi pengendali utama.
Segala proses politik, seperti pilkada, pemilu, dan pilpres, kini tak luput dari intimidasi, pembagian sembako, hingga pembelian suara. Hal ini memunculkan pertanyaan, bagaimana agenda perubahan dapat terlaksana jika politik uang terus mendominasi?
Pengamat politik Assoc. Prof. Dr. Khamim Zarkasih Putro, M.Si memberikan pandangan bahwa efektivitas pemilu sangat bergantung pada tingkat pendidikan dan kesadaran masyarakat. Jika masyarakat sudah maju, terdidik, dan memiliki pengetahuan yang cukup, mereka dapat mempertimbangkan pilihannya secara rasional.
Namun, di Indonesia, mayoritas masyarakat berpendidikan SMP ke bawah dan tersebar di wilayah yang luas. “Ini menyebabkan pemilu menjadi tidak efektif, bahkan memperbesar praktik transaksional yang semakin masif,” katanya saat dihubungi KBA News, Kamis, 10 Oktober 2024.
Dosen Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta ini mengungkapkan, banyak warga yang kini pragmatis. “Meskipun sering dikritik karena menjual suara dengan harga murah, bagi mereka, hal tersebut tidak terlalu penting. Yang utama bagi mereka adalah imbalan yang diterima, tidak peduli dampak jangka panjangnya,” jelasnya.
Bahkan, dalam konteks ini, para pemimpin politik seringkali mendesain strategi sedemikian rupa sehingga mereka dianggap sebagai ‘penolong’ yang memberikan uang kepada rakyat.
Menurut dia, dalam kondisi seperti ini, tidak mengherankan jika muncul wacana untuk kembali ke sistem pemilihan perwakilan. Pada awalnya, pemilihan presiden secara langsung dianggap tidak mungkin memungkinkan terjadinya suap terhadap seluruh rakyat Indonesia.
“Namun, kenyataannya, para calon yang dibantu oleh broker politik mampu membayar rakyat untuk memilih mereka. Akibatnya, situasi ini semakin sulit dikendalikan,” jelasnya.
Selain itu, penyelenggaraan pemilu sendiri tidak mudah. Terdapat banyak kesepakatan tersembunyi yang dilakukan untuk mencapai kekuasaan. Pada dasarnya, pemerintah memiliki dua tujuan utama: pertama, mensejahterakan masyarakat, dan kedua, mempertahankan kekuasaan, meskipun hal ini tidak selalu tertulis.
Setiap pemerintahan selalu memiliki motif tersembunyi untuk mempertahankan kekuasaan atau status quo. Karena itu, intervensi dari penyelenggara negara terhadap proses pemilu seringkali terjadi, termasuk dorongan untuk tidak jujur dalam menjalankan pemilu.
Khamim berpendapat, permasalahan ini bukan hanya tentang mekanisme atau regulasi pemilu, tetapi lebih kepada pola pikir yang perlu dirombak secara total. “Masyarakat yang semakin hedonistik perlu diarahkan kembali kepada nilai-nilai kepemimpinan profetik,” ungkapnya.
“Kepemimpinan dengan nuansa keagamaan yang kuat perlu diperkuat, di mana agama dapat menjadi panduan dalam memilih pemimpin yang baik, sekaligus membentuk masyarakat yang dipimpin juga bisa lebih bijaksana,” papar Khamim. (HMP)