Daily News | Jakarta – Keputusan ini menghilangkan dominasi kekuasaan mayoritas dan memastikan bahwa suara minoritas tidak lagi diabaikan. Ini merupakan kemajuan yang baik untuk mewujudkan demokrasi yang lebih sehat
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) baru-baru ini untuk menghapus ambang batas pemilihan presiden sebesar 20 persen telah dipuji sebagai langkah maju yang signifikan bagi demokrasi Indonesia. Keputusan ini membuka pintu bagi lebih banyak kandidat yang memenuhi syarat untuk bersaing, menawarkan pilihan pemimpin yang lebih luas kepada para pemilih. Langkah ini menghilangkan dominasi kekuatan politik utama dan memastikan bahwa suara kaum minoritas tidak lagi diabaikan.
Lompatan Menuju Demokrasi
Prof. Dr. M. Wil Jandra, Rektor Universitas Madani Yogyakarta, memuji putusan tersebut, menyebutnya sebagai kemajuan yang sangat dibutuhkan bagi demokrasi. “Putusan ini menghilangkan dominasi mayoritas dan memastikan bahwa suara minoritas tidak lagi diabaikan. Ini adalah langkah positif menuju demokrasi yang lebih sehat,” katanya dalam sebuah wawancara dengan KBA News. Putusan tersebut, menurut Prof. Jandra, membuka peluang bagi lebih banyak calon presiden dan wakil presiden untuk muncul. Hal ini menciptakan kebebasan yang lebih besar bagi publik untuk memilih pemimpin yang mereka yakini akan mendorong perubahan positif. “Sebelumnya, aturan yang ketat menyebabkan surat suara kosong, seperti dalam pemilihan kepala daerah. Situasi ini jelas tidak sehat bagi demokrasi,” imbuhnya.
Dengan putusan ini, lebih banyak kandidat yang dapat mencalonkan diri, sehingga memberikan kesempatan nyata kepada publik untuk memilih pemimpin berdasarkan prestasi. Prof. Jandra menekankan bahwa, meskipun populasi Indonesia yang berjumlah 280 juta tidak dapat sepenuhnya diwakili oleh setiap kandidat, perubahan ini menawarkan sistem yang lebih adil daripada yang sebelumnya, di mana beberapa suara secara konsisten dikecualikan.
Tantangan dan Peluang
Namun, Prof. Jandra memperingatkan potensi tantangan yang mungkin timbul dari peningkatan jumlah kandidat. “Meskipun lebih banyak pilihan lebih baik, jumlah kandidat yang berlebihan dapat mempersulit proses pemilihan. Regulasi yang efektif diperlukan untuk memastikan pemilihan yang lancar dan terorganisasi,” katanya. Ia juga menyoroti perlunya regulasi yang jelas dan adil oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk melaksanakan putusan tersebut, memastikan bahwa sistem tidak menjadi mangsa manipulasi oligarki.
Prof. Jandra menekankan pentingnya pengawasan publik yang aktif selama penyusunan peraturan ini, mendesak partai politik terutama yang berada di luar pemerintahan seperti PDIP untuk memastikan aturan baru tersebut memperkuat, bukan melemahkan, semangat demokrasi.
Ancaman Oligarki dan Kesadaran Politik
Terlepas dari optimisme seputar keputusan tersebut, Prof. Jandra memperingatkan bahwa munculnya kekuatan oligarki dapat merusak proses tersebut. “Dengan sumber daya yang besar, oligarki dapat dengan mudah membeli dukungan partai politik untuk mendukung pencalonan mereka,” katanya. Ia menekankan perlunya pendidikan politik untuk membantu masyarakat memahami hakikat demokrasi, mencegah mereka terpengaruh oleh uang dan kepentingan material. “Kepemimpinan yang dapat dipercaya, jujur, dan bermoral baik harus menjadi prioritas,” tambahnya.
Ia menunjuk keberhasilan Ethiopia sebagai model. “Ethiopia, meskipun lingkungannya keras, telah mengalami kemajuan yang signifikan, bahkan menerima Hadiah Nobel Perdamaian. Kepemimpinannya, yang berakar pada kejujuran dan integritas, merupakan bukti kekuatan pemerintahan yang baik,” katanya. Sebaliknya, Indonesia yang kaya akan sumber daya alam, terus berjuang menghadapi berbagai masalah seperti utang, eksploitasi lingkungan, dan kemiskinan. “Kita perlu belajar dari negara-negara yang telah bangkit dari kesulitan, bukan hanya dari negara-negara yang telah sukses,” jelasnya.
Pemimpin Ideal
Menurut Prof. Jandra, pemimpin ideal adalah pemimpin yang mampu menyatukan rakyat, memberantas korupsi, dan memerintah dengan efisien. Ia mencontohkan keputusan Ethiopia untuk mengurangi separuh jumlah kementeriannya, sehingga mengurangi inefisiensi, sebagai model yang dapat ditiru Indonesia. “Mungkin Presiden Prabowo harus mengunjungi Ethiopia untuk belajar dari negara yang telah bertransformasi dari ambang kehancuran menjadi lebih maju dari Indonesia,” sarannya.
Lanskap politik yang lebih inklusif
Putusan tersebut juga membuka ruang bagi munculnya kandidat akar rumput, terutama mereka yang berasal dari latar belakang politik yang kurang mapan. Prof. Dr. Indra Bastian dari Universitas Gadjah Mada menyoroti bahwa penghapusan ambang batas presidensial memungkinkan lebih banyak kandidat untuk bersaing, yang akan mengarah pada partisipasi sosial dan pertumbuhan ekonomi yang lebih besar. “Dengan memungkinkan kandidat dari berbagai lapisan masyarakat untuk mencalonkan diri, perubahan ini akan mendorong pertumbuhan dari bawah ke atas, bukan hanya di pusat politik,” katanya.
Perubahan ini juga menyamakan kedudukan bagi partai politik, memastikan tidak ada partai yang diuntungkan secara tidak adil. Prof. Indra menilai, dengan bertambahnya jumlah calon, akan tercipta iklim politik yang lebih dinamis dan kompetitif. “Kontrak politik antara calon dan pemilih harus dilandasi komitmen nyata terhadap program konkret, bukan sekadar janji-janji uang,” imbuhnya.
Harapan Masa Depan yang Transparan
Bambang Haryanto, dari Ikatan Alumni Organisasi Mahasiswa Indonesia (KAHMI), menyampaikan optimisme hati-hati atas putusan tersebut. “Kita masih menunggu apakah ini langkah MK yang sungguh-sungguh atau ada agenda politik di baliknya,” katanya. Kendati demikian, ia meyakini putusan ini dapat membuka ruang persaingan yang lebih besar, asalkan dimanfaatkan secara bijak oleh elemen prodemokrasi.
Bambang juga melihat putusan ini sebagai peluang bagi partai-partai kecil atau kekuatan politik baru untuk mengajukan calon-calon baru dalam pemilihan presiden mendatang. “Semakin banyak pilihan yang diberikan kepada publik, semakin baik,” katanya, asalkan prosesnya tetap adil dan transparan.
Ia juga mengimbau parpol untuk memanfaatkan kesempatan ini untuk mengajukan calon yang kompeten, sehingga masyarakat dapat memilih pemimpin terbaik tanpa campur tangan kepentingan oligarki. “Pada akhirnya, sistem politik yang sehat akan menghasilkan pemimpin terbaik bagi bangsa,” pungkas Bambang.
Putusan MK membuka kemungkinan baru yang signifikan bagi masa depan demokrasi Indonesia, menyediakan platform bagi kepemimpinan baru dan partisipasi publik yang lebih kuat dalam proses politik. Meskipun tantangan masih ada, peluang untuk menciptakan demokrasi yang lebih adil dan inklusif lebih jelas dari sebelumnya. (HMP)
Discussion about this post