Daily News | Jakarta – Maraknya pengibaran bendera bajak laut One Piece *Jolly Roger* di berbagai daerah menjelang HUT RI ke-80 dinilai sejumlah pakar sebagai bentuk kreativitas warga dalam menyampaikan kritik terhadap situasi negara, bukan tindakan makar.
Pengamat komunikasi Universitas Islam Indonesia, Puji Rianto, menilai fenomena ini merupakan kelanjutan dari rangkaian aksi simbolik sebelumnya seperti slogan “Indonesia Gelap” atau “Kabur Aja Dulu”. Menurutnya, *Jolly Roger* dalam kisah aslinya memang simbol perlawanan terhadap penguasa yang zalim dan korup. “Kalau ada pemerintah yang zalim di mana pun, merekalah yang sejatinya melakukan makar terhadap konstitusi,” ujarnya, Kamis (7/8/2025).
Puji menyoroti paradoks ketika Wapres Gibran pernah memakai pin *Jolly Roger* saat debat Pilpres. “Itu melawan siapa? Saat itu yang berkuasa bapaknya,” katanya. Ia menekankan bahwa bendera ini kerap dikibarkan di bawah Merah Putih, menandakan kecintaan pada NKRI, meski menolak ketidakadilan, korupsi, dan kemiskinan. Pemerintah diingatkan merespons cepat agar keresahan tak berkembang menjadi pembangkangan massal.
Pakar hukum tata negara IPDN, Prof. Djohermansyah Djohan, meminta pemerintah menyikapi fenomena ini dengan bijak, bukan dengan tuduhan makar. Ia melihatnya sebagai bukti kedewasaan berdemokrasi: protes yang aktif, kritis, dan tanpa kekerasan. “Saya bangga rakyat berani bersikap elegan,” katanya, Rabu (6/8/2025). Ia membandingkan dengan Myanmar di mana rakyat dibungkam oleh junta militer, menegaskan bahwa konstitusi Indonesia menjamin kebebasan berpendapat.
Presiden Prabowo, melalui Mensesneg Prasetyo Hadi, menyatakan tidak masalah jika bendera One Piece digunakan sebagai ekspresi, asalkan tidak disandingkan atau dipertentangkan dengan Merah Putih.
Pengamat komunikasi politik Universitas Brawijaya, DR Verdy Firmantoro, melihatnya sebagai “metafora modern” komunikasi politik generasi muda. Simbolisme pop culture menjadi bahasa baru untuk menyuarakan kritik, terutama saat saluran politik formal dirasa berjarak. Menurutnya, simbol *Jolly Roger* mengandung pesan perlawanan terhadap otoritas korup, solidaritas kelompok marjinal, dan tuntutan keadilan hukum.
Verdy menilai positif keterlibatan generasi muda dalam gerakan ini, karena menunjukkan mereka tidak apatis terhadap negara. “Sepanjang diniatkan untuk perbaikan kebijakan, itu vitamin bagi demokrasi,” ujarnya, Jumat (8/8/2025). Ia menekankan pentingnya pemerintah merespons dengan wajar atau bahkan humor cerdas untuk meningkatkan citra di mata publik muda, bukan dengan sikap represif yang bisa memperlebar jarak negara–rakyat.
Meski begitu, Verdy mengingatkan perlunya kewaspadaan terhadap “penunggang gelap” yang bisa memanfaatkan tren populer untuk agenda tersembunyi. Namun kewaspadaan ini, katanya, tidak boleh berubah menjadi paranoid yang membungkam kreativitas.
Ketiga pakar sepakat bahwa pengibaran *Jolly Roger* adalah ekspresi simbolik yang perlu dibaca sebagai kritik sosial, bukan ancaman terhadap negara. Cara pemerintah merespons akan menentukan kualitas demokrasi ke depan. Fenomena ini, kata Verdy, “menunjukkan kedewasaan kita berdemokrasi. Generasi muda hanya menemukan medium berbeda untuk menunjukkan cinta, harapan, dan kegelisahan terhadap masa depan Indonesia.” (HMP)