Daily News | Jakarta – Penguasaan ekonomi oleh segelintir orang, termasuk oligarki asing, dinilai semakin menggerogoti kedaulatan politik Indonesia. Praktik politik uang dan penyalahgunaan kekuasaan dalam setiap pemilu menjadi gejala nyata dari fenomena ini. Politisasi bantuan sosial (bansos), keterlibatan ASN, hingga aparat TNI/Polri dalam mendukung pasangan calon tertentu, semakin memperlihatkan hubungan erat antara kekuatan ekonomi dan kekuasaan politik.
Syukri Fadholi, Presidium Forum Ukhuwah Islamiyyah (FUI) DIY, mengungkapkan bahwa dominasi segelintir pihak dalam menguasai kekayaan alam Indonesia turut memperparah situasi politik nasional. Menurutnya, penguasaan ekonomi oleh oligarki, baik dari dalam maupun luar negeri, berdampak langsung pada penguasaan politik melalui praktik politik uang.
“Ekonomi Pancasila sudah beralih menjadi ekonomi liberal. Ini memungkinkan sumber daya alam kita justru lebih banyak dimanfaatkan oleh oligarki asing, bukan untuk rakyat,” ungkap Syukri kepada KBA News, Kamis, 24 Oktober 2024.
Ia menjelaskan, jika pengelolaan sumber daya alam Indonesia diatur dengan benar, kekayaan tersebut bisa memberikan manfaat besar bagi rakyat. Namun, realitanya, kolusi antara pejabat negara dan oligarki asing telah merampas potensi ekonomi tersebut. “Bumi dan kekayaan yang terkandung di dalamnya seharusnya digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Sayangnya, yang terjadi justru kolusi antara asing dan rezim yang berkuasa,” jelasnya.
Mantan Ketua DPW PPP DIY ini memperingatkan bahwa penguasaan ekonomi oleh oligarki akan terus memperburuk keadaan politik Indonesia. Dengan sumber daya alam dikuasai oleh segelintir orang, kebijakan politik pun semakin mudah dikendalikan oleh mereka yang memiliki kekuatan ekonomi. “Dalam 10 hingga 15 tahun, jika situasi ini dibiarkan, negara ini bisa sepenuhnya dikuasai oleh pihak asing,” tegasnya.
Situasi tersebut, lanjut Syukri, membuat politik uang menjadi fenomena yang sulit dihentikan. Selama sistem demokrasi masih mengandalkan suara terbanyak, dan rakyat miskin terus terjebak dalam ketidaktahuan tentang hak-hak politik mereka, uang akan tetap menjadi alat untuk membeli suara.
“Rakyat kita banyak yang miskin dan tidak memahami bahwa suara mereka tidak seharusnya bisa dibeli. Ketika diiming-imingi uang, mereka merasa itu adalah bantuan besar, padahal sebenarnya itu merampas hak-hak mereka,” ungkapnya.
Mantan Wakil Wali Kota Yogyakarta ini juga menyoroti kebijakan bansos yang sering kali disalahartikan sebagai bantuan pemerintah, padahal di baliknya ada agenda politik yang bertujuan memperkuat posisi rezim berkuasa. “Rakyat tidak sadar bahwa bansos sering kali adalah bentuk manipulasi politik. Mereka mengira itu adalah bantuan murni, padahal yang terjadi justru penggerogotan hak-hak mereka,” tambahnya.
Lebih jauh, Syukri menegaskan bahwa solusi untuk mengatasi fenomena ini adalah perubahan sistem politik yang fundamental. Ia menyerukan agar Indonesia kembali pada UUD 1945 yang asli dengan amandemen terbatas. “Jika kita tidak segera merombak sistem yang ada dan menghentikan penguasaan ekonomi oleh oligarki, politik uang akan terus menjadi momok yang merusak demokrasi kita,” pungkasnya. (EJP)