Daily News | Jakarta – Generasi yang lebih tua mungkin merasa sejarah mereka dihapus atau diubah, sementara generasi muda mungkin menganggap narasi lama tidak relevan atau tidak akurat.
Penulisan ulang sejarah Indonesia adalah proyek besar yang digagas oleh Pemerintah Presiden Prabowo Subianto, khususnya Kementerian Kebudayaan. Proyek ini pun menuai kontroversi.
Sosiolog dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Syaifudin mengatakan, penulisan ulang sejarah memang merupakan sebuah proses yang kompleks dan sangat sensitif, terutama dalam konteks Indonesia yang memiliki sejarah panjang dengan berbagai interpretasi.
Dari perspektif sosiologis, kata dia, dampak penulisan ulang sejarah, terutama untuk generasi muda, akan sangat signifikan karena sejarah yang direvisi akan menjadi bahan ajar utama di lembaga-lembaga pendidikan.
“Dimana generasi muda akan terpapar pada narasi sejarah yang berbeda dari generasi sebelumnya. Ini akan membentuk pandangan dunia mereka tentang identitas bangsa, nilai-nilai, dan peristiwa masa lalu,” katanya kepada KBA News, Jumat, 13 Juni 2025.
Menurutnya, jika narasi baru ini lebih inklusif dan objektif, ini bisa positif. Namun, jika cenderung menyaring atau memanipulasi fakta, ini bisa mengarah pada pandangan dunia yang bias atau tidak lengkap.
“Kemudian juga jika perubahan terlalu drastis atau tidak dijelaskan dengan baik, generasi muda bisa mengalami disorientasi. Mereka mungkin kesulitan membedakan antara fakta dan interpretasi, terutama jika mereka mendengar narasi yang berbeda dari orang tua atau sumber lain. Ini dapat menyebabkan skeptisisme terhadap informasi sejarah secara keseluruhan,” jelasnya.
Selain itu, lanjut Syaifudin, narasi sejarah yang direvisi juga akan mempengaruhi bagaimana generasi muda memahami identitas nasional mereka dan tingkat patriotisme mereka. Jika sejarah yang baru mengajarkan kebanggaan yang lebih realistis dan kritis terhadap masa lalu, itu bisa mendorong patriotisme yang lebih dewasa.
“Namun, jika sejarah dipolitisasi untuk mendorong nasionalisme yang sempit atau bahkan chauvinisme, ini bisa berbahaya,” katanya.
Menurutnya, penulisan ulang sejarah juga bisa menjadi peluang untuk mendorong pendidikan yang lebih kritis, di mana siswa diajarkan untuk menganalisis berbagai sumber dan perspektif.
Namun, jika penulisan ulang itu sendiri bersifat dogmatis, itu akan menghambat pengembangan pemikiran kritis dan mengajarkan penerimaan pasif terhadap kebenaran yang ditentukan. Perbedaan narasi sejarah antara generasi tua dan muda dapat memicu konflik antargenerasi.
“Generasi yang lebih tua mungkin merasa sejarah mereka dihapus atau diubah, sementara generasi muda mungkin menganggap narasi lama tidak relevan atau tidak akurat,” ujarnya. (DJP)