Daily News | Jakarta – Dalam panggung politik Indonesia, Anies Baswedan selalu menjadi figur yang menarik perhatian publik. Sejak mencalonkan diri sebagai presiden pada Pilpres 2024, Anies kerap disorot karena gagasan dan wacana politiknya yang menawarkan perubahan.
Salah satu topik hangat yang sedang berkembang adalah rencana Anies untuk mendirikan organisasi massa (ormas) atau bahkan partai politik baru. Banyak pihak melihat langkah ini sebagai upaya untuk membangun basis gerakan yang lebih terstruktur dan terorganisir, menjadikan Anies sebagai tokoh sentral dalam perubahan politik jangka panjang.
Menurut pengamat politik Dr. Martadani Noor, MA, Anies dinilai memiliki modal sosial yang sangat kuat, terutama berkat dukungan relawan dan komunitas yang konsisten mendukung gerakannya. Basis dukungan ini telah terbentuk sejak masa kampanye Pilpres 2024, dengan banyak simpatisan yang berharap agar gerakan tersebut berlanjut ke dalam bentuk yang lebih permanen.
Namun, pertanyaan besar yang muncul adalah: kapan momen yang tepat untuk mendeklarasikan pendirian partai politik? Dan apakah mendirikan ormas terlebih dahulu merupakan strategi yang efektif?
Dr. Martadani Noor, MA, menyatakan, pendirian partai politik tidak bisa dilakukan dengan terburu-buru, tetapi juga tidak boleh terlalu lambat. “Semakin dekat dengan Pemilu 2029, semakin terlambat mendirikan partai, karena sulit membangun partai dari nol,” katanya saat dihubungi KBA News, Kamis, 10 Oktober 2024.
Menurut dia, butuh persiapan infrastruktur politik hingga ke daerah-daerah membutuhkan waktu yang cukup lama, serta melibatkan proses perekrutan yang matang. “Harus ada panitia yang bekerja dengan rapi, tidak bisa asal tunjuk. Selain itu, pembuktian keanggotaan sangat penting agar tidak terjadi tumpang tindih,” ujar Dr. Martadani.
Salah satu tantangan terbesar dalam mendirikan partai politik dari ormas adalah perbedaan orientasi anggota. Tidak semua anggota ormas memiliki minat untuk bergabung ke dalam partai politik. “Orang yang masuk ormas biasanya lebih berorientasi pada pengabdian sosial, bukan politik. Ini berbeda dengan partai, di mana mereka yang bergabung sudah pasti memiliki minat politik sejak awal,” jelas Dr. Martadani.
Dekan Fisipol Universitas Widya Mataram Yogyakarta ini mengungkapkan, saat ormas berubah menjadi partai, terjadi penyusutan jumlah anggota karena tidak semua bersedia mengubah orientasi mereka dari sosial ke politik. Contoh yang bisa diambil adalah perjalanan Partai NasDem, yang awalnya didirikan sebagai ormas oleh Surya Paloh dan beberapa tokoh, termasuk Anies Baswedan.
Saat ormas NasDem bertransformasi menjadi partai politik, banyak anggota yang memilih untuk mundur. Bahkan, tokoh-tokoh besar seperti Sultan Hamengku Buwono X dan Anies sendiri juga mengundurkan diri. “Berdirinya NasDem dari ormas ke partai tidak mudah, dan itu adalah pelajaran penting bahwa tidak semua anggota ormas mau mengikuti perubahan menjadi partai politik,” ungkapnya.
Alumnus S2 dari kampus di India ini berpendapat bahwa langkah yang lebih tepat bagi Anies adalah langsung mendirikan partai politik, tanpa harus melalui fase ormas terlebih dahulu. Dia mencontohkan beberapa partai besar seperti Partai Demokrat dan Gerindra yang langsung dibentuk sebagai partai politik, tanpa buang-buang waktu dan sumber daya untuk membentuk ormas terlebih dahulu. “SBY tidak mendirikan ormas, karena itu hanya membuang waktu dan logistik. Gerindra juga langsung partai,” tegasnya.
Pengalaman NasDem juga bisa menjadi pelajaran penting bagi Anies. Meskipun NasDem sempat bertransformasi dari ormas ke partai, fase tersebut berlangsung singkat, hanya sekitar setahun. Pada akhirnya, proses ini menunjukkan bahwa membentuk ormas sebagai fondasi sebelum mendirikan partai politik mungkin bukan strategi yang paling efektif.
“Jika Anies benar-benar ingin membawa perubahan melalui jalur politik, lebih baik sejak awal mendirikan partai politik, daripada menghabiskan waktu membentuk ormas terlebih dahulu,” ujar pengamat lulusan S3 di Universitas 11 Maret Surakarta. (DJP)