Daily News | Jakarta – “Masa kejayaan Jokowi telah berlalu saatnya Prabowo berdiri tegak menjadi Presiden tanpa dibayangi oleh Jokowi. Banyak hal yang harus dilakukan Prabowo yang lebih penting yaitu penyediaan lapangan kerja, kesejahteraan rakyat dan capaian pertumbuhan ekonomi 8 persen,”
Karena sering dilupakan dan banyak orang sudah abai, perlu diingat bahwa Indonesia adalah negara hukum (Rechtsstaat) bukan negara kekuasaan (Machtsstaat). Artinya segala tindakan dan kebijakan pemerintah serta warga negara harus berdasarkan hukum yang berlaku, bukan berdasarkan kehendak penguasa. Begitu juga dalam menilai ijazah palsu Jokowi dan dugaan Wapres Gibran Rakabuming Raka yang setelah ditelisik ternyata tidak tamat SMA.
Hal itu dikatakan oleh Sekjen Front Penggerak Perubahan Nasional (FPPN) yang juga pemerhati kebijakan publik dan kebangsaan Sudrajat Maslahat kepada KBA News, Selasa, 18 November 2025, menanggapi semakin jelasnya bukti-bukti bahwa Jokowi menggunakan ijazah palsu dan anaknya Gibran yang tidak tamat SLA dan sederajat yang berarti melanggar kententuan seorang Wapres harus sekurang-kurangnya tamat SLA.
“Presiden Prabowo harus menyelesaikan keresahan rakyat tersebut. Jika pemerintahan Prabowo ingin punya marwah dan berwibawa di mata rakyat maka saatnya hukum harus sama tajam ke atas dan ke bawah. Tanpa itu semua niat membersihkan koruptor hanya lip service, omon omon dan dagelan belaka,” kata aktivis yang vokal di Voice of Banten itu.
Dikatakannya, tanggapan atas pernyataan Roy Suryo mereka sudah berhenti bahas Jokowi karena pasti ijazahnya palsu. Kini mereka fokus kepada ijazah Gibran yang diduga keras tidak tamat SMA. Artinya bahwa seluruh alat bukti yang ada dan bahkan telah dibukukan oleh Roy Suryo dalam Jokowi White Paper sudah lengkap. Tinggal kemauan Aparat Penegak Hukum dalam hal ini Polri mau tidak menindaklanjuti pada tahap penyelidikan dilanjutkan penyidikan dan penetapan tersangka Jokowi yang diduga memakai ijasah palsu.
Jika berkas ini dianggap lengkap oleh kejaksaan alias P21 maka Pengadilan tinggal digelar untuk membuktikan asli atau palsu ijadah tersebut. Serangkaian dengan itu, kasus yang menimpa ijasah persamaan Gibran juga perlu dituntaskan karena menyangkut jabatan publik strategis sebagai orang nomor 2 di pemerintahan. Jika negara ini sampai dipimpin oleh orang berijasah palsu dan tidak tamat SMA, tidak memiliki kecakapan yang memadai alamat celaka besar bagi bangsa.
Sebenarnya kasus ijasah palsu itu kasus sederhana, pembuktiannya mudah karena menyangkut fisik berupa kertas. Historisnya juga mudah ditelusuri secara berurutan, misalnya ada pengumuman Jokowi diterima di Sipenmaru tahun 1980 di fakultas kehutanan UGM. Beberapa surat kabar seperti Kompas, Pelita, Kedaulatan Rakyat pasti memuat pengumuman itu, kemudian kawan kawan seangkatan dan sekelas yang pernah duduk bareng kuliah tinggal dicari, transkrip nilai, skripsi dll. Itukan sangat mudah ditelusuri karena bukan barang gaib.
Paradigma politik hukum
Yang perlu diubah, tambahnya, justru paradigma politik dan hukumnya, yaitu kita sebagai bangsa yang besar yang katanya menjunjung tinggi hukum dan demokrasi tidak perlu canggung atau menganggap aib untuk memenjarakan mantan presiden. Malah tetangga kita seperti Korea Selatan, Malaysia, Jepang banyak mantan pimpinan tertinggi di negaranya masuk bui dan dampaknya cukup bagus bagi pembersihan KKN.
“Kenapa kita tidak meniru mereka dan tidak usah malu untuk meniru kebaikan. Jika penegakan hukum ini kita mulai seperti itu justru ini merupakan lompatan strategis agar tidak ada lagi pelecehan terhadap lembaga kepresidenan yang begitu tinggi, terhormat dan sakral, karena sistem pemerintahan kita menganut sistem Presidensial,” tambahnya.
Seperti diketahui ada enam Guru Besar yang siap bersaksi membela Roy Suryo di pengadilan. Artinya argumen pembuktian kebenaran tinggal di adu di pengadilan. Sangat tidak fair jika permasalahan ini digantung apalagi misal menunggu pemiliknya sampai mati. Indonesia kan negara hukum dan sesuai Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.
Artinya, Konstitusi mengamatkan kepada semua warga negara memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum dan wajib menaatinya tanpa memandang status sosial, pangkat, atau golongan. Ketentuan ini menguatkan prinsip equality before the law (persamaan kedudukan di hadapan hukum).
Jadi menurutnya, janganlah persoalan yang sederhana dibikin rumit, bahkan coba-coba menjerat para aktivis dengan hukum. Justru ini momentum yang tepat bagi Prabowo untuk memerintahkan agar Polri bekerja secara Profesional, Jujur, Adil, Transparan dan Presisi.
“Masa kejayaan Jokowi telah berlalu saatnya Prabowo berdiri tegak menjadi Presiden tanpa dibayangi oleh Jokowi. Banyak hal yang harus dilakukan Prabowo yang lebih penting yaitu penyediaan lapangan kerja, kesejahteraan rakyat dan capaian pertumbuhan ekonomi 8 persen,” demikian Sudrajat Maslahat. (DJP)



























