Daily News | Jakarta – Saat pemilu terbuka pada tahun 2004 itu berkualitas. Itu pemilu pertama kali setelah reformasi, integritas masih dijaga. Namun, pemilu-pemilu berikutnya substansi demokrasi kian menurun.
Pasca Reformasi 1998, politik uang semakin mengakar kuat dalam sistem politik Indonesia. Demokrasi sebagai buah reformasi kian menjauh. Apa yang menyebabkan fenomena ini terjadi?
Ketua Partai Ummat DIY, Dwi Kuswantoro, mengungkapkan bahwa pasca reformasi, saat digelar pesta demokrasi berupa pemilihan langsung, mulai muncul gejala politik uang. Di masyarakat, tumbuh pragmatisme politik.
Menurut dia, pemilu langsung pertama pasca Reformasi masih sangat bagus dan terjaga integritasnya. “Saat pemilu terbuka pada tahun 2004 itu berkualitas. Itu pemilu pertama kali setelah reformasi, integritas masih dijaga. Namun, pemilu-pemilu berikutnya substansi demokrasi kian menurun,” ujarnya kepada KBA News, Selasa, 15 Oktober 2024.
Dwi menambahkan bahwa pada pemilu-pemilu selanjutnya, selain politik uang yang semakin merebak, identitas politik partai mulai ditinggalkan. “Identitas politik saat ini tidak lagi menjadi topik menarik. Sebaliknya, praktik mobilisasi politik yang dangkal lebih dominan,” ungkapnya.
Jika melihat sejarah, partai-partai politik pada masa lalu memiliki identitas politik yang kuat. Misalnya, Masyumi dengan basis Islam, PNI dengan Marhaenisme, dan PKI dengan ideologi komunisme.
Pada masa Orde Baru, identitas politik ini masih bertahan, seperti PDI yang berfokus pada Marhaenisme, PPP dengan Islam dan Golkar yang menggabungkan nasionalisme dengan religiusitas.
“Namun, saat ini, identitas politik tidak lagi menjadi isu yang menarik bagi masyarakat. “Demokrasi hanya menjadi pesta pragmatis, bukan lagi soal ideologi atau nilai,” jelasnya.
Dwi juga menyoroti terkait mobilisasi politik yang terbagi menjadi dua jenis. Pertama, mobilisasi yang didorong oleh warisan sosial (legacy), yang cenderung positif. “Tokoh yang memiliki warisan sosial mampu menggerakkan masyarakat melalui gagasan politik.
“Mereka biasanya melakukan pendekatan dengan edukasi karena mereka memiliki pengaruh, kemampuan, dan gagasan yang kuat,” jelasnya.
Contoh klasik yang sering disebut adalah Soekarno. Orang-orang mendukungnya bukan hanya karena PNI, tetapi karena ketokohan Soekarno itu sendiri. Tokoh yang memiliki warisan sosial seperti ini mampu menarik orang-orang untuk datang dengan sendirinya tanpa imbalan apa pun.
Namun, masalah besar muncul ketika mobilisasi politik dilakukan oleh orang yang tidak memiliki ketokohan atau warisan sosial, tetapi punya uang. “Mereka membeli dukungan dengan uang. Ini bukan lagi tentang gagasan, tetapi tentang siapa yang bisa membayar lebih untuk mendapatkan dukungan,” katanya.
“Mobilisasi semacam ini mencerminkan praktik politik tanpa nilai dan mengikis integritas demokrasi. Inilah yang terjadi saat ini,” jelasnya.
Di sisi lain, mobilisasi politik juga dipengaruhi oleh kekuatan incumbent yang memiliki berbagai instrumen untuk menggerakkan massa. Partai Ummat, yang memiliki tokoh nasional dan gagasan besar, tidak berhasil meraih suara yang signifikan. Bisa jadi, incumbent yang didukung dengan citra bansos mampu menggerakkan massa.
Dwi mengungkapkan, di era politik pragmatis ini, gagasan besar seperti yang diusung Partai Ummat dengan slogan *Lawan Kezaliman, Tegakkan Keadilan* ternyata belum cukup mampu menarik publik.
“Jadi, gagasan besar atau identitas partai tidak lagi menarik di mata publik karena suasananya sudah pragmatisme. Pragmatisme politik yang marak membuat gagasan besar partai kehilangan bobot,” lanjut Dwi. (DJP)