Daily News | Jakarta – Langkah Purbaya untuk merasionalkan keuangan negara patut kita semua mendukungnya. Khusus soal Whoosh penting untuk mengaudit cost over-run serta kemungkinan moral hazard dalam proyek tersebut. Akhirnya pada gilirannya cost over run harus ditanggung bersama dengan pihak China.
Begitulah, polemik utang Kereta Cepat Jakarta- Bandung (KCJB) yang populer dikenal sebagai Whoosh telah terjadi antara Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa melawan Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Panjaitan terlanjur merebak ke publik. Menkeu menolak proyek rugi itu ditanggung oleh APBN sedangkan Luhut menilai sikap Purbaya itu sebagai arogan dan tidak menghormati para menteri lain dan pendahulunya yang sudah berjuang untuk proyek itu.
Pengamat ekonomi berpengaruh yang juga Gurubesar IPB Bogor Didin S Damanhuri cenderung memihak kepada ketegasan Purbaya. Hal itu dikatakannya kepada KBA News, Senin, 20 Oktober 2025. “Sudah benar langkah Purbaya untuk tidak menggunakan APBN menanggung utang Woosh. Memang sebaiknya diserahkan kepada Danantara sebagai Badan Pengelola Investasi yang mengurus dana BUMN,” kata Didin.
Tindakan itu diambil tentunya dengan pertimbangan matang antara lain agar menjaga fiscal sustainability (kesinambungan fiskal) yang diatur dalam APBN. DI samping itu, pemerintah juga disibukkan oleh penanganan utang Pemerintah yang saat ini sudah lebih dari Rp 10.000 trilyun,” kata peneliti senior Institute for Development of Economic and Finance (Indef) itu.
Merunut kembali pada masa awal proyek itu, Didin menyatakan, awalnyapun sewaktu ditandatangani Menteri BUMN Rini Suwandi pada 2015 proyek KA Cepat Bandung – Jakarta tersebut sifatnya B-to-B (BUMN dengan BUMN). “Masak kemudian APBN harus menanggung utang Whoosh yang entah kapan bisa balik modal itu,” katanya.
Proyek itu dimulai dengan keinginan Presiden Jokowi pada 2015 agar ada kereta cepat di Indonesia yang bisa menaikkan pamor Indonesia sebagai negara pertama ASEAN yang memilikinya. Gagasan itu ditolak oleh Menteri Perhubungan Ignatius Jonan dengan alasan, jarak yang terlalu pendek antara Jakarta-Bandung yang cuma 180 Km. Ternyata kemudian menjadi 143 Km karena berakhir di Padanglarang. Di samping itu, alasa Jonan, kereta cepat itu tidak mendesak karena kita sudah mempunyai Parahiyangan dan Argogede. Jokowi tetap ngotot agar proyek itu terwujud dan memecat Jonan dari jabatan Menhub.
Perkembangan proyek itu selanjutnya adalah Jepang sanggup memberikan dukungan dengan menyatakan setuju membiayai proyek dengan biaya 6,2 Milyar dolar AS , yang 75 persennya lewat JICA dengan bunga 0,1 persen. Tetapi Jepang menuntut adanya komitmen Indonesia menjamin proyek itu ditanggung oleh APBN. Bahkan Jepang sudah mengeluarkan dana sebesar 3,4 juta AS untuk membuat studi kelayakan (feasibel study). Mereka siap bekerja jika pemerintah Indonesia setuju.
Atas alasan tidak mau memberikan jaminan APBN, pemerintah menolak proporsal Jepang itu. Menteri BUMN waktu itu Rini Sumarno lebih memilih China karena Negara Tirai Bambu itu tidak mewajibkan adanya jaminan APBN. Di sinilah terlihat anehnya apa yang terjadi kemudian. Semuanya berubah total setelah China masuk di proyek itu dan Jepang terpental.
Bunga China gila-gilaan
Jika Jepang cuma menetapkan bunga pinjaman sebesar 0,1 persen, sebaliknya China mematok 2 persen. Membengkak 20 kali dari bunga yang ditentukan Jepang. Sekarang malah bunga menjadi 3,4 persen. Tentu mengagetkan tuntutan China itu, bayangkan berapa kalinya? 34 kali dari yang diberikan Jepang.
Padahal Jokowi pernah bilang proyek itu proyek sifatnya B to B. Artinya, bisnis yang terjadi antara perusahaan atau gabungan perusahaan antara kedua negara. Dalam perkembangan selanjutnya, Pemerintah China tidak mau menurunkan bunga. Negosiasi gagal. Proyek KCJB itu mengalami pembengkakan biaya (cost overrun) sebesar 1,2 Milyar dolar AS atau sebesar 18,2 Triliun pada tahun 2023. Angka itu hasil audit yang disepakati oleh kedua negara.
Dengan demikian, biaya total proyek yang berlangsung sejak 2016 itu kini mencapai 72,7 milyar dolar AS atau sekitar Rp 108 T, itu hingga 2023. Sekarang pembengkakannya lebih besar lagi, mencapai Rp 180 T. jauh melampaui nilai dari Jepang yang cuma 6,2 M dolar AS. Orang-orang kritis akan bertanya gaya bisnis macam apa yang dibuat oleh pemerintahan Jokowi. Apa karena bodoh atau karena terjadi permainan di bawah tangan? Anda bisa nilai sendiri.
Didin menambahkan keanehan yang terjadi. Sewaktu pembengkakan biaya (cost over-run) diajukan, nampaknya tidak dilakukan audit terlebih dahulu. Apa sebenarnya yang terjadi sehingga jumlahnya yang bertambah sekitar Rp 20 – 40 trilyun itu sehingga utang KA menjadi sangat tinggi jauh di atas logika akal sehat.
”Di satu pihak bagaimanapun terhadap hal tersebut harus ada yang bertanggungjawab. Tapi di lain pihak, kitapun harus berketetapan agar KA Cepat Bandung – Jakarta yang telah menjadi Aset Negara itu harus kita jaga kemanfaatannya untuk publik tanpa merugikan pihak-pihak manapun di dalam negeri,” kata intelektual yang sudah banyak mengarang buku-buku teks bidang ekonomi itu.
Langkah Purbaya untuk merasionalkan keuangan negara patut kita semua mendukungnya. Khusus soal Whoosh penting untuk mengaudit cost over-run serta kemungkinan moral hazard dalam proyek tersebut. Akhirnya pada gilirannya cost over run harus ditanggung bersama dengan pihak China. (EJP)



























