Daily News | Jakarta – Pengamat Politik Ray Rangkuti mengatakan tidak sulit memahami mengapa akhirnya Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan penghapusan Presidential Treshold (PT) dalam sistem pemilihan presiden dan wakil presiden Indonesia. Ini karena bila dicermati gejala akan dihapusnya presidential treshold ini, sebenarnya, telah terbaca dalam beberapa peristiwa.
“Pertama peristiwa ketika MK mengabulkan permohonan penghapusan pasal dinasti politik dalam Pilkada. Alasan yang disebutkan oleh MK bahwa menjaga hak konstitusional warga negara adalah lebih utama. Maka membatasi hak konstitusional warga karena hubungan darah dinyatakan MK bertentangan dengan hak asasi manusia. Dalil ini, dipergunakan oleh MK untuk mengabulkan permohonan pembatalan PT,” kata Ray Rangkuti, Jumat siang, 3 Januari 2025.
Peristiwa kedua adalah ketika MK mengulangi kembali keyakinan mereka bahwa dinasti dan nepotisme politik itu bukan sesuatu yang terlarang secara konstitusional kala menolak permohonan pembatalan Gibran sebagai cawapres dalam sengketa hasil pilpres 2024 di MK. Mereka bahkan mengutip istilah dari netizen bahwa apa yang dipilih secara langsung oleh masyarakat bukanlah dinasti atau nepotisme politik.
“Argumen yang jelas lebih relevan ini dilekatkan pada penolakan adanya PT dalam Pilpres dari pada dibolehkannya dinasti atau nepotisme politik. Dalam bahasa lain, jika dinasti dan nepotisme boleh karena berbasis pilihan langsung rakyat maka apatah lagi argumen PT dipertahankan karena kekhawatiran melubernya calon dan terjadinya inefisiensi. Dinasti dan nepotisme boleh, masak banyak calon tidak boleh,” ujarnya.
Peristiwa ketiga adalah manakala dikabulkannya permohonan perbaikan persyaratan pencalonan pasangan kepala daerah. MK mengoreksi syarat partai politik mencalonkan pasangan calon yang memudahkan partai atau koalisi partai mencalonkan pasangan calon dalam Pilkada. Argumen MK membatalkan syarat berat pencalonan di pilkada sangat relevan dengan argumen menolak PT di dalam Pilpres.
”Argumen keempat adalah ketika ada keputusan MK menerima permohonan koreksi syarat usia bagi calon presiden dan wakil presiden dengan membuat ketentuan bersyarat. Yakni selama tidak atau belum pernah menjabat di jabatan kepala atau wakil kepala daerah. Tentu saja, pengabulan ini meruntuhkan apa yang selama ini dijadikan MK sebagai dalil menolak permohonan penghapusan PT. Yakni adanya hak DPR untuk membuat aturan rinci sebagai syarat dalam satu pelaksanaan peraturan (open legal policy). Maka, sejak MK menerima permohonan koreksi batas usia capres dan cawapres maka sejak itu argumen open legal policy rontok,” tegasnya lagi.
Gejala kelima yang menandai bahwa MK akhirnya akan memutus besar PT menjadi nol persen, lanjut Ray, yakni pada masa paska sidang MK tentang batas usia capres dan cawapres. Kala itu ‘angin politik’ di MK yang lebih kondusif. Ada nuansa di mana MK terlihat lebih bebas dan independen. Seiring itu, ada juga nuansa di dalam MK untuk benar-benar tampil sebagai benteng terakhir penegakan konstitusi kita.
”Pada masa itu, maka kita pun mulai menikmati putusan-putusan MK yang lebih progresif. Seperti pernah kita alami di awal-awal lahirnya MK ini di bawah kepemimpinan Jimly Asshiddiqie,” ujarnya.
Alhasil Ray kemudian mengatakan pihaknya selaku civil society kini berharap agar tidak ada upaya kembali DPR untuk mengubah putusan MK ini dengan sebaliknya. Seperti pernah mereka lakukan di bulan Agustus 2024 lalu yang menimbulkan perlawanan masyarakat, khususnya mahasiswa dan gen Z. ”Kami berharap jangan lagi ada rekayasa sana sini yang akan dapat memancing kegusaran publik. Partai politik harus menerima bahwa pandangan mereka tentang PT itu adalah bertentangan dengan konstitusi,” tandas Ray Rangkuti. (AM)
Discussion about this post