Daily News | Jakarta – Para elite kekuasaan hanya mendengarkan suara rakyat secara langsung pada masa kampanye pemilu saja. Pada saat ini dinamika politik Indonesi semakin pragmatis. Ini dapat disaksikan ketika kekuasaan kian lama semakin menjauh dari etika publik.
Begitulah rektor Universitas Teknologi Muhammadiyah Jakarta (UTMJ), Prof Dr Agus Suradika, mengatakan Indonesia pasca-reformasi sering dipuji sebagai salah satu negara demokrasi terbesar di dunia. Namun di balik proses demokratisasi itu, tampak adanya situasi paradoks dalam etika dan moral pada praktik kekuasaan.
‘’Pasca reformasi malah terus dan semakin bermunculan masalah korupsi, politik identitas, pembelahan sosial, dan banalitas kekuasaan menjadi fenomena yang nyaris dianggap biasa.Di tengah dinamika itu politik Indonesia tampak semakin pragmatis. Ini dapat disaksikan ketika kekuasaan kian lama semakin menjauh dari etika publik,’’ kata Suradika kepada KBA News, Rabu pagi,11 Juni 2025.
Selain itu, lanjut Suradika, pasca reformasi relasi antara pemimpin dan rakyat menjadi semata transaksional. Fenomena ini mengingatkan pada kritik mendalam Elias Canetti, seorangpemikir humanis kelahiran Bulgaria, dalam karyanya Crowds and Power (1978) bahwa bahwa manusia modern memiliki ketakutan yang mendalam terhadap kekuasaan, namun secara paradoks juga terobsesi untuk memilikinya.
“Dalam konteks Indonesia masa kini, semakin tampak nyata terlihat di depan mata bila elite politik hanya berlomba memperebutkan kekuasaan dengan segala cara, bahkan dengan mengorbankan nilai-nilai etika. Politik bukan lagi soal pengabdian, tetapi soal dominasi dan perebutan posisi, ’’ ungkapnya.
Tak hanya itu, Canetti pun menjelaskan bagaimana pada saat ini setiap ada kerumunan masa maka akan cenderung menjadi tempat manusia melepaskan rasa tanggung jawab moralnya. Dalam kerumunan, individu merasa aman karena bisa bersembunyi di balik keseragaman.
Hal tersebut tampak jelas dalam praktik politikIndonesia pasca reformasi. Saat ini massa dikerahkan bukan untuk berdialog, tetapi untuk menyerang lawan politik, menyebar disinformasi, atau sekadar menjadi alat legitimasi kekuasaan.
“Para buzzer atau pendengung digital membuat perpecahan dengan cara menghembuskan politik identitas untuk membelah masyarakat. Alhasil, suara kerumunan menjadi lebih penting daripada akal sehat, etika dikorbankan demi popularitas,’’ tegas Suradika.
Maka, kekuasaan yang lahir dari kondisi ini pun dipastikan tidak akan memiliki fondasi moral yang kokoh, melainkan hanya bertumpu pada kecemasan dan ilusi kolektif. “Situasi ini juga diamati Canetti yang juga menyinggung soal dehumanisasi dalam sistem kekuasaan modern. Akibatnya, kini manusia tidak lagi dipandang sebagai pribadi, melainkan sekadar angka, data, atau objek kebijakan.”
Begitu juga yang tak kalah memprihatinkan situasi pasca reformasi adalah bila melihat masalah yang ada dalam birokrasi dan hukum di Indonesia masa kini. Keadilan semakin tampak jelas sering kali hanya milik mereka yang punya akses dan kuasa. Rakyat kecil tertindas dalam sistem yang kering dari empati.
‘’Contoh mutakhir adalah tumpulnya penegakan hukum terhadap koruptor kelas atas dibanding rakyat miskin yang mencuri untuk bertahan hidup. Ini menegaskan bahwakekuasaan di Indonesia belum bersandar pada prinsip etika universal, melainkan pada kalkulasi pragmatis dan loyalitas sempit’’ ujarnya lagi.
Canetti juga menyebut satu hal lain yang lebih menyentuh lagi. Hal itu adalah kondisi dari manusia modern yang kini sangat takut akan “sentuhan”. Ia mengibaratkannya sebagai ketakutan untuk menjalin relasi yang otentik. “Politik Indonesia hari ini pun begitu. Pemimpin lebih suka tampil di media daripada mendengarkan langsung keluhan rakyat. Mereka hadir di tengah masyarakat hanya menjelang pemilu, bukan dalam keseharian kehidupan warga.”
‘’Akibat munculnya berbagai hal buruk pasca reformasi itu. Maka kini sudah tiba saatnya bagi semua pihak membangun ulang fondasi kekuasaan yang berpijak pada tanggung jawab moral. Pendidikan politik harus menanamkan bahwa kekuasaan adalah amanah, bukan privilese atau hak istimewa. Demokrasi harus ditopang oleh kesadaran etis, bukan sekadar mekanisme elektoral. Nalar publik perlu terus dihidupkan sehingga memunculkan keberanian moral, (EJP)