Daily News | Jakarta – Anies Baswedan baru-baru ini membahas A Diary of Genocide, sebuah buku yang menggetarkan dan membuka realitas yang terjadi di Gaza. Ditulis oleh Atef Abu Saif, seorang novelis yang juga pernah menjabat sebagai Menteri Kebudayaan Otoritas Palestina, buku ini menjadi cermin penderitaan dan ketahanan rakyat Gaza.
Atef datang ke Jakarta untuk mendiskusikan bukunya secara mendalam. “Saya mendapat buku ini, dan dia (Atef) menulis: ‘To Anies, with love and appreciation. Thanks for the deep and honest reading of the book,’” ungkap Anies dalam video YouTube yang dikutip KBA News, Selasa, 29 Oktober 2024.
Menurut Anies, buku ini adalah catatan harian Atef selama 60 hari pertama serangan yang dimulai pada 7 Oktober hingga Desember. Dalam dua bulan penuh yang dipenuhi suara bom dan peluru, Atef mencatat penderitaannya, keaktifannya, serta ketangguhan, kebulatan tekad, kelembutannya, dan keberaniannya.
Karya ini menarik dengan gaya penulisan Atef yang menggunakan bahasa puitis untuk menggambarkan kehancuran yang terjadi di Gaza. Ketika membaca buku ini, pembaca akan merasakan seolah-olah berada di lokasi yang diceritakan, memberikan pengalaman yang adiktif dan membuat ketagihan.
Anies mengungkapkan, Atef menggambarkan bagaimana penduduk Gaza berusaha menjalani kehidupan normal di tengah gempuran suara bom yang tak kunjung reda. Saat mencari makanan, minuman, dan air bersih, mereka terus-menerus mendengar dentuman yang mengancam.
Buku ini juga menyajikan cerita mendalam tentang kehilangan dan trauma. Salah satu bagian paling menyayat hati adalah ketika Atef menceritakan keluarga dan teman-temannya yang menjadi korban. Setiap nama yang disebutkan bukan sekadar statistik; itu adalah nyawa manusia yang hilang.
Selain itu, kata Anies, Atef menggambarkan dengan jelas situasi pengungsian internal, di mana orang-orang terpaksa meninggalkan rumah mereka dan mencari tempat aman yang mungkin tidak ada di Gaza. “Mereka harus meninggalkan segala sesuatu yang dimiliki tanpa kepastian akan kembali,” kata Anies.
Menurut Anies, dalam membaca buku ini, sering kali hanya mendengar angka dan statistik, seperti jumlah korban atau kerusakan rumah. “Namun, buku ini mengungkapkan peristiwa-peristiwa secara detail, menceritakan bagaimana kehidupan sehari-hari di tengah ketidakpastian,” ungkapnya.
Suami Fery Farhati ini mengaku terkesan dengan buku karya Atef ini. Ada kisah yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya, seperti anak-anak yang menandai tubuh mereka dengan nama dan nomor identitas, takut jika mereka meninggal dan tidak dikenali. “Bayangkan anak-anak yang seharusnya bermain, atau belajar di sekolah, tetapi harus memikirkan kematian mereka sendiri,” katanya.
Ini adalah realitas yang dihadapi rakyat Gaza setiap hari. Buku ini bukan sekadar diary; itu adalah catatan penting yang menggambarkan eskalasi peristiwa yang terjadi. Atef tidak merevisi kisahnya, tetapi menggambarkan perubahan yang terus berlangsung.
“Mengapa buku ini penting dan perlu dibaca? Ini bukan hanya sekadar buku; ini adalah dokumen sejarah yang sangat berharga, suara dari mereka yang sering kali tidak terdengar dalam konflik,” jelas Anies.
Menurut Anies, Atef memberikan perspektif langsung dari seseorang yang berada di lokasi, yang mengalami peristiwa dari hari ke hari, mendeskripsikannya dengan sangat baik. Kekuatan tulisan Atef ini membuatnya dimuat di media internasional seperti The New York Times, The Washington Post, dan Le Monde. Dunia harus mendengar cerita-cerita ini untuk merasakan apa yang sebenarnya terjadi dan kebiadaban yang dialami di tempat itu.
“Saya merekomendasikan buku ini kepada siapa saja yang ingin mendapatkan informasi sesungguhnya tentang Gaza. Ini adalah langkah untuk membuka hati kita terhadap penderitaan sesama manusia,” papar Anies.
Membaca buku ini mungkin terasa berat, tetapi ini adalah upaya kecil yang bisa diambil untuk memahami konflik dan menjadi suara bagi kebenaran. Setiap halaman dari buku ini adalah jeritan penderitaan yang tidak boleh diabaikan.
Anies mengatakan, di balik cerita penderitaan rakyat Palestina, terdapat cerita ketangguhan dan keberanian. Bangsa Palestina adalah bangsa yang berani, tangguh, dan ulet; semua itu tergambar dalam buku ini. “Dari semua narasi yang digambarkan dalam A Diary of Genocide, ada kisah tentang ketangguhan sebuah bangsa Palestina,” ujarnya. (HMP)