Daily News | Jakarta – Sosiolog, Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Syaifudin mengatakan, isu tuduhan feodalisme terhadap pesantren yang belakangan viral dapat dimaknai sebagai gejala sosial yang muncul akibat jarak pemahaman antara persepsi publik dan realitas kehidupan pesantren itu sendiri. Ini merupakan bentuk konflik nilai atau konflik perbedaan persepsi.
Menurutnya, bagi masyarakat luas yang pandangannya banyak dibentuk oleh media dan wacana publik, struktur hierarkis pesantren, di mana kiai menjadi pusat otoritas dan santri menempati posisi subordinat, sering kali dibaca sebagai bentuk kekuasaan absolut yang menyerupai sistem feodal.
“Padahal, tanpa memahami konteks nilai-nilai adab, spiritualitas, serta tata relasi internal yang khas, banyak praktik tradisional pesantren akan dilihat oleh pihak luar sebagai sesuatu yang tampak kaku atau tidak demokratis,” katanya kepada KBA News, Sabtu (18/10/2025).
Di sisi lain, kata dia, relasi kekuasaan dalam pesantren sesungguhnya lebih dinamis dan berlapis daripada sekadar pola dominasi satu arah.
“Memang terdapat hubungan patron-klien antara kiai dan santri yang di mana santri bergantung pada bimbingan spiritual, moral, bahkan materi dari sang kiai, namun relasi ini lebih merupakan bentuk pengabdian berbasis etika keagamaan daripada paksaan struktural,” jelasnya.
“Para ulama dan pengamat menilai bahwa penghormatan atau taʿzhim dan ketundukan santri bukanlah ekspresi ketertindasan, melainkan manifestasi dari nilai ikhlas, adab, dan pencarian keberkahan yang menjadi inti tradisi pesantren,” katanya.
Syaifudin melanjutkan, mudahnya tuduhan feodalisme merebak ke ruang publik juga menandakan terbatasnya pemahaman masyarakat terhadap kebudayaan pesantren.
“Tradisi internal seperti musyawarah pengelolaan pondok, mekanisme regenerasi kiai, hingga cara pesantren mengelola kritik jarang diketahui di luar komunitasnya,” jelasnya.
Akibatnya, lanjut dia, narasi publik kerap menyederhanakan pesantren sebagai institusi tertutup dan otoriter. Untuk itu, menurutnya, diperlukan dialog terbuka dan diseminasi budaya pesantren yang lebih luas, agar masyarakat dapat melihat bahwa pesantren bukan benteng feodalisme, melainkan ruang pembelajaran moral, spiritual, dan sosial yang memiliki sistem nilai tersendiri.
“Maka itu Kementerian Agama, organisasi kemasyarakatan, serta institusi pondok pesantren perlu menjembatani konflik nilai ini dengan membuka dialog publik secara intensif,” ujarnya. (DJP)



























