Daily News | Jakarta – Prabowo dalam bencana ini, kata dia, alih-alih mendengar apa langkah, evaluasi dan upaya penanganan dan pemulihan banjir, yang justru muncul adalah ungkapan bahwa sawit adalah karunia, dapat dijadikan sebagai BBM.
Begitulah, pengamat politik, Ray Rangkuti mempertanyakan keputusan Presiden Prabowo Subianto yang tak menetapkan bencana di Sumatera sebagai Bencana Nasional dan enggan meminta bantuan dari pihak internasional.
“Pak Prabowo dikenal dengan jargon kemandirian. Tapi, kadang terlalu berlebihan. Atau lebih tepatnya, memaknai kemandirian dengan tidak pas. Untuk urusan bencana Sumatera, nampaknya, prinsip itu hendak dipegang teguh,” katanya kepada KBA News, Minggu, 7 Desember 2025.
Sayangnya, kata Ray Rangkuti, sikap Prabowo yang tidak menetapkan status bencana Sumatera sebagai Bencana Nasional, tidak diimbangi oleh langkah gesit dari pemerinrah pusat.
Akhirnya, lanjut dia, seperti terlihat sekarang, bencana ini terasa lama ditangani. Yang meninggal lama ditemukan. Kebutuhan pangan dan umumnya konsumsi, lambat diterima warga. Dan hingga hari ini belum terdengar desain pemulihan pasca banjir bandang ini.
“Inilah yang disesalkan. Tidak berkenan menetapkan bencana nasional, tapi tidak optimalkan mengerahkan sumber nasional dalam negeri,” jelasnya.
“Sebut saja misalnya soal dana. Belum terdengar ungkapan Presiden untuk mengerahkan sebanyak mungkin dana bagi penanganan dan pemulihan Sumatara paska banjir,” katanya.
Prabowo dalam bencana ini, kata dia, alih-alih mendengar apa langkah, evaluasi dan upaya penanganan dan pemulihan banjir, yang justru muncul adalah ungkapan bahwa sawit adalah karunia, dapat dijadikan sebagai BBM.
Ia menilai, ungkapan Kepala Negara tersebut seperti tidak ada empati. Seperti tidak ada pengakuan bahwa banjir bandang dan longsor tersebut disebabkan oleh kebijakan ekploitasi keragaman hutan menjadi monokultur sawit.
“Seperi mau menyebutkan bahwa banjir bandang ini merupakan takdir Tuhan. Mungkin, karena itu, Prabowo seperti menyepelekan musibah banjir ini,” ujarnya. (DJP)





























