Daily News | Jakarta – Rakyat sudah terlalu lama tertindas. Kasus Affan hanyalah pemantik, kemarahan ini adalah akumulasi dari berbagai kebijakan yang menekan.
Maka, tragedi meninggalnya Affan Kurniawan setelah dilindas kendaraan polisi dalam aksi demonstrasi menjadi titik ledak kemarahan rakyat. Kejadian itu telah membuat unjuk rasa meluas ke sejumlah kota di Indonesia.
Menurut pemerhati sosial politik Nazaruddin, peristiwa yang terjadi pada Affan bukanlah kejadian tunggal, melainkan puncak dari akumulasi ketidakadilan dan kekecewaan masyarakat yang sudah lama dipendam. “Rakyat sudah terlalu lama tertindas. Kasus Affan hanyalah pemantik, kemarahan ini adalah akumulasi dari berbagai kebijakan yang menekan,” ujarnya kepada KBA News, Senin, 1 September 2025.
Nazaruddin menilai gejolak sosial ini berakar sejak masa pemerintahan sebelumnya atau Jokowi. Ia menyoroti pengesahan Undang-Undang Omnibus Law yang dinilai tergesa-gesa dan menjadi awal runtuhnya kepercayaan rakyat.
“UU itu melemahkan perlindungan tenaga kerja sekaligus membuka pintu liberalisasi. Dampaknya, PHK massal meluas, angka pengangguran meningkat, dan lapangan kerja yang tersisa sebagian besar berbasis outsourcing dengan upah murah tanpa jaminan,” jelasnya.
Kondisi itu, lanjutnya, diperparah oleh kebijakan fiskal yang menekan masyarakat. Pajak semakin mencekik di tengah ekonomi rapuh, sementara gaji dan tunjangan anggota DPR justru meningkat. “Negara bukannya melindungi, malah seperti mengintai kelemahan rakyat,” tegasnya.
Alumni FH UII Yogyakarta ini juga menyoroti pemerintahan saat ini yang dinilainya belum menunjukkan keberpihakan nyata pada rakyat. Sebaliknya, publik justru disuguhi manuver politik dan regulasi yang dianggap absurd. “Alih-alih memperbaiki situasi ekonomi, negara seperti dijadikan laboratorium eksperimen kebijakan. Sayangnya, setiap risiko kesalahan selalu dibebankan kepada rakyat,” ungkapnya.
Jadi, kata Nazaruddin, tragedi Affan Kurniawan hanyalah momentum yang mempercepat ledakan kemarahan rakyat. “Kasus ini menyentuh simpul emosi publik. Mereka marah bukan hanya karena satu nyawa hilang, tapi karena merasa terlalu lama diperlakukan tidak adil,” tegasnya. (DJP)