Daily News | Jakarta – Politik uang yang kian merebak menjadikan identitas dan platform partai politik kian memudar. Ini menjadi tantangan bagi pelaku politik dalam membangun demokrasi pasca Reformasi yang sepertinya kian keluar dari rel yang benar.
Ketua Partai Ummat DIY, Dwi Kuswantoro, menyoroti tantangan yang dihadapi dunia politik Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Selain maraknya praktik politik uang, identitas politik partai-partai kini semakin ditinggalkan.
“Identitas politik saat ini tidak lagi menjadi topik menarik. Sebaliknya, praktik mobilisasi politik yang dangkal lebih dominan,” ungkapnya saat dihubungi KBA News pada Rabu, 16 Oktober 2024.
Dwi menjelaskan bahwa kondisi ini menjadi pekerjaan rumah besar bagi semua pihak. Ia menekankan pentingnya memberikan pendidikan politik yang substansial kepada masyarakat.
“Kita tidak boleh patah arang dengan fenomena ini. Kami yakin ini hanya sementara, bukan permanen. Masih banyak upaya yang bisa dilakukan untuk perubahan, selama ideologi terus diupayakan,” ujarnya dengan penuh optimisme.
Memudarnya identitas politik ini bisa dilihat dari minimnya hubungan antara politisi dan publik pasca kontesasi politik, baik Pileg, Pilkada, hingga Pilpres. Menurutnya, interaksi ini seharusnya tidak hanya terjadi pada saat pemilu, melainkan juga dalam kehidupan sehari-hari.
“Seharusnya ada hubungan yang berkesinambungan antara publik dan politisi, bukan hanya sekadar interaksi pragmatis saat hajatan politik,” jelasnya.
Di tengah era pragmatisme dan memudarnya identitas politik, Dwi tetap optimis bahwa hasil dari proses demokratisasi akan membuahkan hasil. Dia optimistis demokrasi sebagai buah dari reformasi akan menemukan jalan yang benar.
“Demokratisasi membawa kebebasan. Itu hasil dari reformasi, dan ini sudah menjadi titik yang baik, meski tetap ada kekurangan,” jelasnya.
Kekurangan ini perlu diperbaiki, dan ini adalah PR bagi seluruh warga bangsa. “Tidak boleh ada kata pesimis, karena jika pesimis, lalu menjadi apolitis, maka negara ini akan semakin rusak,” tegasnya.
Ia memperingatkan bahwa menjadi apolitis hanya akan membuka ruang bagi individu-individu yang tidak memiliki integritas untuk memasuki dunia politik. “Akibatnya, kondisi politik semakin hancur,” ungkapnya.
Menurut dia, meski masih ada politisi yang punya integritas dan nilai, namun belum berhasil terjun di dunia politik, itu bukan akhir dari segalanya. “Perjuangan politik tidak hanya ada di parlemen atau pemerintahan. Di luar itu, kita tetap bisa berjuang. Edukasi politik harus terus dilakukan,” kata Dwi.
Dwi mengungkapkan, salah satu perjuangan itu yakni mengembalikan partai politik memiliki identitas yang jelas dan mengakar. Melihat sejarah politik Indonesia, Dwi mencatat bahwa partai-partai politik pada masa lalu memiliki identitas yang kuat.
Misalnya, saat Orde Lama ada Masyumi dengan basis Islam, PNI dengan Marhaenisme, dan PKI dengan ideologi komunisme. Pada masa Orde Baru, identitas politik ini masih dapat bertahan, dengan PDI berfokus pada Marhaenisme dan Golkar menggabungkan nasionalisme dengan religiusitas.
“Kini identitas politik tidak lagi menarik bagi masyarakat. Tugas kita bagaimana agar partai politik kembali memiliki identitas,” tegas Dwi. (AM)