Daily News | Jakarta – Seruan agar dibentuk Komite Independen untuk mengusut dugaan korupsi dalam proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung (Whoosh) semakin menguat. Direktur Gerakan Perubahan dan anggota Dewan Penasihat MSI, Muslim Arbi, menyarankan agar Prof. Mahfud MD ditunjuk sebagai ketua komite tersebut untuk menyelamatkan keuangan negara dari praktik manipulatif yang disebut-sebut melibatkan jaringan politik era Presiden ke-7 Joko Widodo.
Muslim menilai, sejak awal proyek Whoosh sarat dengan indikasi penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) dan kebijakan yang dipaksakan. Awalnya, proyek ini ditawarkan kepada Jepang dengan bunga pinjaman hanya 0,1 persen, namun karena pemerintah menolak jaminan APBN, proyek akhirnya jatuh ke tangan Tiongkok dengan bunga yang meningkat menjadi 3,4 persen—plus syarat jaminan dari APBN.
“Terjadi pembengkakan biaya luar biasa. Awalnya 17 juta dolar per kilometer, kini mencapai 52 juta dolar. Ini indikasi korupsi besar-besaran,” ujar Mahfud MD, yang sejak awal telah menyoroti kejanggalan proyek ini. Total kerugian negara diperkirakan mencapai Rp73,5 triliun, menurut ekonom Prof. Anthony Budiwan.
Muslim menilai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkesan lamban dan tidak transparan dalam menangani kasus ini. “Sejak awal 2025 KPK mengaku sudah menyelidiki, tapi tidak ada hasil yang diumumkan. Publik melihat lembaga ini seperti tersandera oleh utang politik masa lalu,” katanya.
Karena itu, ia mendesak Presiden Prabowo Subianto untuk mengambil langkah tegas. “Jika serius memberantas korupsi, Prabowo harus menerbitkan surat keputusan membentuk Komite Independen dengan Mahfud MD sebagai ketua, didampingi tokoh-tokoh berintegritas,” ujarnya.
Muslim juga mengingatkan agar rencana memperluas jalur Whoosh ke Surabaya ditunda sampai audit dan investigasi proyek saat ini selesai. “Whoosh yang sekarang saja bermasalah dan berlarut-larut penyelesaiannya,” tegasnya.
Warisan politik Jokowi dan kepemimpinan tergesa-gesa
Anggota Dewan Pakar Gerakan Rakyat, Nandang Sutisna, menilai akar masalah proyek Whoosh berasal dari pola kepemimpinan Presiden Jokowi yang mengedepankan kecepatan tanpa perencanaan matang. “Pendekatan grasa-grusu ini mungkin cocok untuk proyek kecil, tapi berisiko besar bagi proyek strategis,” ujarnya.
Menurut Nandang, Jokowi terlalu berambisi meninggalkan warisan besar sebelum masa jabatannya berakhir, sehingga banyak proyek dijalankan tanpa studi kelayakan dan pengawasan yang memadai. “Proyek Whoosh tetap dipaksakan, padahal dua menteri teknis, Ignasius Jonan dan Andrinof Chaniago, sudah menolak karena tidak layak secara finansial,” tambahnya.
Proyek yang awalnya dirancang sebagai skema B to B antara konsorsium BUMN Indonesia dan Tiongkok berubah menjadi B to B plus setelah pemerintah menerbitkan Perpres No. 93 Tahun 2021, yang memberi jaminan dana APBN. “Perubahan ini justru menambah beban fiskal negara dan membuktikan proyek tidak siap secara komersial,” jelasnya.
Akibat kebijakan tergesa-gesa itu, proyek Whoosh tertunda empat tahun dan biaya melonjak dari 6,05 miliar dolar AS menjadi 7,2 miliar dolar AS—setara hampir Rp120 triliun untuk jalur 142 km. Bandingkan dengan proyek kereta cepat Arab Saudi sepanjang 1.500 km yang hanya menelan Rp112 triliun.
“Fakta ini menunjukkan kerugian yang tidak bisa ditutup-tutupi. Karena itu, Presiden Prabowo harus berani membentuk tim independen dan memberi mandat penuh kepada Mahfud MD untuk mengusut tuntas,” pungkas Muslim Arbi. (AM)



























